Jogja, dprd-diy.go.id – Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS), diketahui bahwa DIY memiliki presentase kemiskinan yang tinggi, namun indeks kebahagiaan dan harapan hidup juga tinggi. Hal tersebut merupakan sebuah anomali yang terus terjadi di DIY dimana indikator pembangunan yang cukup tinggi tidak sejalan dengan tingkat kemiskinan yang masih sangat tinggi.
Suharwanta, Wakil Ketua DPRD DIY mengatakan bahwa pada tahun 2020 angka kemiskinan di DIY mencapai 12,8 persen yang lebih tinggi dari presentase kemiskinan nasional. Meskipun begitu, indeks pembangunan manusia di DIY tertinggi kedua setelah Jakarta.
“Tahun 2019 (angka kemiskinan) 9,3 persen tapi karena pandemi kemudian meningkat 12,8 persen di atas rata-rata nasional, tapi indeks pembangunan manusia kita (DIY) tertinggi di Indonesia kedua setelah Jakarta. Ini anomali, sesuatu yang tidak linier. Kami memahaminya memang harus banyak komponen parameter,” ungkapnya, Jumat (18/06/2021).
Menurut Suharwanta indikator perhitungan pembangunan manusia di DIY memang harus dikaji kembali, sebab ia melihat masyarakat DIY masih memiliki rasa sosial dan budaya yang sangat tinggi. DPRD DIY dengan Pemda DIY juga telah melakukan diskusi yang menegaskan bahwa perhitungan angka kemiskinan DIY dan indikator pembangunan lainnya membutuhkan beberapa aspek.
“Di Jogja ini mungkin berbeda, prinsip masih bersyukur sehingga pada posisi apapun masih ada rasa syukur Barangkali ini salah satu yang menjadikan Jogja ini tinggi dalam konteks harapan hidup dan kebahagiannya. Termasuk dalam sosial kerukunan masih tinggi. Ketika seseorang ada kesulitan tidak akan lepas dari membantu tetangga, saudara, menjadi kekuatan tersendiri. Inilah kekuatan kita di Jogja yakni modal sosial,” terangnya.
Ia menilai pengukuran angka kemiskinan di DIY juga perlu dikaji kembali mengingat salah satu indikator kemiskinan adalah belanja konsumsi dengan minimal pengeluaran sebesar Rp 465.000,-. Menurutnya indikator tersebut tidak tepat diberlakukan untuk masyarakat DIY yang masih memiliki rasa sosial yang tinggi.
“Sementara membaca Jogja nggak cukup dengan itu. Ada belanja yang lebih besar, yang mereka (masyarakat DIY) lakukan yaitu belajar sosial. Di Jogja ini ternyata juga memberikan rasa nyaman, merasa merasa terlindungi,” imbuhnya.
Terkait ketimpangan wilayah, Suharwanta mengatakan bahwa Gubernur telah berupaya untuk membuat DIY juga menghadap ke bagian selatan. Salah satu progresnya yakni kelanjutan dari adanya bandara YIA dengan rencana pembangunan jalur lingkar selatan yang dapat membuka akses ekonomi.
“Sekarang dengan jalan lintas selatan dengan membuat peradaban baru di Jogja, ya Gubernur untuk membuat Jogja menghadap selatan ini membuat Jogja ini berada depannya Selatan. Kemudian dibuat bandara dibuat jalan lintas selatan dapat mengungkit semua kekuatan potensi ekonomi di sisi selatan agar terjadi keseimbangan antara utara dan selatan,” ungkap Suharwanta.
Kepala Bappeda DIY, Benny Suharsono sepakat dengan penyampaian dari Suharwanta bahwa modal sosial di tengah masyarakat DIY memang berbeda dengan daerah lainnya. Ia mengungkapkan modal sosial ini menjadi faktor yang luar biasa dimana masyarakat masih mampu bertahan di tengah angka kemiskinan sebesar 12,8 persen.
“Kita lihat di masyarakat ukuran yang luar biasa yang tidak didapat dari daerah lain yaitu modal sosial yang ada di Jogja itu menjadi daya dukung luar biasa sehingga kita bisa bertahan dengan angka (kemiskinan) 12,8 (persen),” ungkpanya.
Pihaknya sendiri khawatir ukuran indikator yang selama ini digunakan tidak benar-benar menggambarkan kesejahteraan masyarakat. Ketika indeks kebahagiaan DIY tinggi bisa jadi hanya menggambarkan kepuasan masyarakat saja, namun tidak menjadi indikator kesejahteraan.
“Kita berpikir jangan-jangan ukurannya tidak kesejahteraan ya. Ukuran kemiskinan itu kan kaitannya dengan kesejahteraan, walaupun perlu penelitian ilmiah itu mungkin kita (DIY) sudah bergeser nih tidak pada posisi kesejahteraan tapi kebahagiaan. Karena kita berpikir bahwa kebahagiaan itu lebih tinggi daripada kesejahteraan,” imbuh Benny.
Menurutnya masih perlu diskusi dan kajian kembali bersama para akademisi terkait ukuran perbandingan yang paling tepat untuk menentukan angka kemiskinan. Benny mengatakan dalam perencanaan pembangunan itu juga mengarah pada strategi menurunkan angka kemiskinan dengan parameter nasional. (fda)
Leave a Reply