Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang beroprasi atas dasar Undang-Undang (UU) nomor 24 Tahun 2011 mengalami permasalahan di lapangan. Sejumlah Rumah Sakit (RS) swasta di DIY mengaku mendapatkan perlakuan tidak adil. “Tarif BPJS didasarkan pada kelas RS, bukan pada berat ringannya penyakit.” Ungkap Dr. Widodo sekretaris forum RS swasta kelas C dan D. Ia mencontohkan kasus Hernia dengan tingkat penyakit yang sama, tarifnya berbeda disetiap maisng-masing RS kelas A/B/C/D. “Bahkan diperparah dengan menyamaratakan tarif antara RS pemerintah dan swasta.” Tambah Dr. Widodo.
Ketidak adilan tersebut dapat juga dilihat dari adanya subsidi yang diberikan kepada RS pemerintah dalam pembayaran gaji karyawan, sarana fisik, dan sumber daya kesehatan. Sedangkan RS swasta tidak mendapatkan subsidi.
Widiyastuti dari RS PKU mengusulkan tarif dievaluasi secara komprehensif. Selisih tarif yang terlalu jauh agar segera mendapatkan solusi. “Upaya kita bukan menurunkan mutu pelayanan tetapi dari tarif masih berat.” Ungkap Widiyastuti . Selain itu, ia bercerita bahwa dari RS swasta pernah mengusulkan agar RS swasta tarifnya dibedakan dengan tarif RS pemerintah. Seperti halnya di dunia pendidikan ada sertifikasi dana BOS. “Ini sama pentingnya dengan pendidikan, mohon sektor kesehatan mendapatkan perhatian.” Harap Widiyastuti.
Masalah lain diungkapkan Sudino dari RS swasta Holistika Medika. Keinginannya untuk bergabung dan bekerjasama dengan BPJS mengalami kesulitan. Begitu juga yang dialami RS Ibu dan Anak. “Jika RS tidak bekerjasama dengan BPJS, izin oprasional akan dicabut.” Ungkap Dr. Vita mengutip pendapatnya Presiden Joko Widodo. Hal tersebut menjadikannya ketakutan. Karenanya ia mengaku siap bekerjasama dengan BPJS demi tetap dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun keinginannya tersebut terkendala karena izin yang diajukan untuk bekerjasama dengan BPJS belum di-ACC. “Kami belum menjadi provider BPJS , padahal sudah kami ajukan satu tahun yang lalu.” Tuturnya. Jawaban yang didapat atas belum ter-ACC-nya pengajuan kerjasama dikarenakan di wilayah Sleman sudah ada 27 provider BPJS. “Dari BKKBN kami terkena sangsi. Contoh kami tidak mendapatkan jatah kontrasepsi alat KB, hal ini tentunya akan mempengaruhi program KB itu sendiri.” Tambah Dr. Vita.
Sedangkan Siti Suryati dari RS ibu dan anak komunitas Bantul mengaku tidak di ACC-nya permohonan kerjasama dengan BPJS karena standar dan syarat BPJS belum terpenuhi. “Padahal Faskes di daerah kami sudah mencukupi.” Ungkap Siti Suryati.
Menanggapi permasalahan-permasalahan tersebut Ratih Subekti perwakilan dari BPJS menuturkan pada dasarnya BPJS kesehatan posisinya sebagai badan penyelenggara. Hal tersebut berbeda dengan ASKES. Perihal tarif berprinsip tidak mengistimewakan golongan tertentu. “Di RS pelayanan dasar tidak boleh ada poli nanti of interes.” Ungkap Ratih.
Informasi yang disampaikan sekretaris Persi yang hari ini juga turut hadir beraudiensi mengatakan “Tarif sudah di bahas di persi pusat dengan mengundang NCC”. Namun laporan belum diterima hingga saat ini. Rencananya tanggal 20 oktober akan dibahas permasalahan-permasalahan yang ada.
Perihal tarif sekretaris Persi mengakui adanya selisih tarif negatif. “Kami juga mengajukan peninjauan ulang kepada pusat untuk menetapkan standard emergency karena di lapangan terjadi permasalahan dimana verifikator-verifikator mempunyai standar yang berbeda.
Adapun terkait permohonan kerjasama dengan BPJS yang hingga kini belum di ACC, Ratih memohon maaf dan akan segera menindaklanjuti. Ratih menuturkan terdapat 69 RS yang telah bekerjasama dengan BPJS. “RS pemerintah bekerjasama dengan BPJS hukumnya wajib. Sedangkan RS swasta sukarela.” Tambah Ratih.
Arida, Dinas Kesehatan mengajak agar seluruh RS berkenan gabung di Persi , sehingga keaktualan informasi dapat diakses. “Sementara ini hanya 60 RS yang terdaftar sebagai anggota Persi.” Ungkap Arida. Arida juga menghimbau agar pihak yang berkeinginan membangun RS, berlokasi di Kulonprogo atau Gunung Kidul. Di Sleman, Kota dan Bantul sudah lebih dari cukup. Adapun izin dilakukan di kabupaten/kota. Ia juga berharap agar ketika Dinas Kesehatan mengundang, dihadiri oleh direktur RS.
Nuryadi S.Pd komisi D mengaku pada saat reses mendapatkan keluhan dari masyarakat terkait BPJS. Kendala di masyarakat banyak yang belum paham tentang BPJS. “Pemahaman masyarakat sebatas pembayaran iuran saja. Bagaimana dengan pemanfaatannya?” Ungkap Nuryadi.
Nuryadi S.Pd mengaku bersyukur hari ini, kamis (10/09) dipertemukan dengan berbagai RS swasta, dinas kesehatan, BPJS dan Persi. “Sehingga kita bisa mengetahui kendala-kendala serta berusaha mencarikan solusinya.”
Menindaklanjuti kasus-kasus yang telah diungkapkan, dan bagaimana mencarikan solusinya, Ir. Atmaji, wakil ketua komisi D DPRD DIY berharap akan ada pertemuan berikutnya. H. Yoeke Indra Agung Laksana, SE mengamini harapan Ir. Atmaji. Bahkan ia mengaku akan mendukung dan mengfasilitasi pertemuan lanjutan dan akan berusaha berkomunikasi secara intensif demi mewujudkan pelayan terbaik dalam bidang kesehatan. (S)
Leave a Reply