
Jakarta, dprd-diy.go.id – Kunjungan Kerja Komisi A DPRD DIY ke Biro Hukum Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia diterima oleh Kepala Biro Hukum, Raden Gani, Senin, (28/6/2021). Pertemuan dengan prosedur tetap Kesehatan yang sangat ketat tersebut berlangsung dengan santai, tanpa mengurangi keseriusan dalam pembicaraan mengenai rencana DPRD DIY yang menginisiasi Rancangan Penyusunan Peraturan Daerah tentang Kerjasama Antar Daerah. Suwardi, Wakil Ketua Komisi A DPRD DIY dalam kesempatan tersebut menyampaikan berberapa pertanyaan terkait dengan tujuan kunjungan Komisi A DPRD DIY.
Beberapa pertanyaan meliputi mengenai sejauh mana kewenangan yang dimiliki Pemda DIY dalam rangka penyelenggaraan kerjasama antar daerah, apakah kerjasama antar daerah dapat dipahami sebagai tindak lanjut pelaksanaaan tentang undang undang omni bus law; mengenai Langkah-langkah yang harus dilakukan terkait dengan penyelesaian apabila terjadi permasalahan atau sengketa dalam melakukan; mengenai pendanaan, sebagai konsekuensi Kerjasama daerah anggarannya akan diperoleh dari mana; dan bagaimana pelaksanaan pengawasan terutama dalam pertanggungjawaban fisik keuangan dalam rangka Kerjasama antar daerah
Menanggapi beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi A DPRD DIY, Suwardi, Kepala Biro Hukum memberikan penjelasannya bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Th 2018 tentang Kerjasama Daerah dan dan sebagaimana ditatur dalam Peraturan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2018 tentang Tata Cara Kerjasama dengan Daerah Lain dan Kerjasama dengan Pihak Ketiga tidak ada ketentuan atau amanah yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut melalui raperda. Oleh karena itu, jika ada keinginan dari Pemerintah daerah DIY untuk mengatur lebih lanjut di dalam raperda haruslah dicermati secara seksama. “Jangan sampai nanti terkesan materinya copy paste dari Permendagri”, ungkapnya. Pemerintah Daerah DIY perlu mengidentifikasi lebih lanjut dari sisi Pemda untuk melakukan inisiatif melahirkan regulasi ini hal-hal mana yang harus diatur di dalam raperda yang akan dibuat tersebut. Kecenderungan kebanyakan perda kalau dipaksakan untuk pengaturan tadi, maka hal tersebut akan cenderung dilakukan dengan copy paste tersebut, padahal secara teknis di dalam Permendagri sudah secara detail diatur mengenai teknis kerjasama dengan daerah lain atau pihak ketiga.
Sedangkan penjelasan terkait dengan pertanyaan mengenai apa kewenangan Pemda DIY terkait dengan Kerjasama sebagaimana tersebut dijelaskan bahwa berdasarkan pada Permendagri Nomor 22 Tahun 2018 tersebut yang menjadi kewenangan Pemda DIY adalah sejauh mana kewenangannya yang menjadi urusannya, yaitu urusan wajib dan urusan sukarela. Sepanjang itu yang menjadi kewenangan daerah, maka diperbolehkan untuk melakukan kerjasama apabila itu dipandang hal tersebut lebih efektif, lebih menguntungkan dari masing-masing daerah, apalagi kaitannya dengan kerjasama dengan pihak ketiga. Singkatnya dipersilahkan untuk melakukan Kerjasama sepanjang hal itu menjadi kewenangan daerah. “Dalam Permendagri, hal tersebut secara detail sudah diatur”, katanya. Kerjasama yang kedua, yaitu bahwa kerjasama dipahami untuk meningkatkan investasi daerah adalah dipahami Kerjasama dengan pihak ketiga. Potensi yang ada di Provinsi DIY yang bisa dikerjasamakan dengan pihak ketiga diperbolehkan, apalagi kalau hal tersebut dilakukan dalam rangka untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada, dan ada pihak ketiga yang berminat.
Kepala Biro Hukum mencontohkan dalam penjelasannya. “Adanya usulan pihak ketiga kabel-kabel yang berada di atas, pihak ketiganya menawarkan akan melakukan untuk merapikannya dengan biaya dari pihak ketiga. Kebanyakan dari daerah dalam hal ini mengambil keuntungan lebih padahal hal itu sudah diuntungkan dengan penataan kota yang baru dengan merapikan kabel-kabel. Dalam hal ini pemda sudah memiliki keuntungan dapat merapikan tatakota dengan biaya dari pihak ketiga. Dalam hal ini yang terpenting bagi pemda adalah dilakukan pengawasan secara intensif bahwa hasilnya sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan sesuai dengan kerjasama itu”, jelasnya. Sedangkan dalam penjelasannya terkait dengan omni bus law, hal ini harus dipisahkan pemahamannya. Omni bus law ingin memberikan percepatan dalam hal regulasi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Percepatan ini menghilangkan sekat-sekat regulasi yang dipandang menghambat hal-hal yang berhubungan dengan Kerjasama tadi. Kaitannya dengan omni bus law disitu bukan kaitan dengan membuat regulasi yang baru, tetapi mencermati setiap policy atau kebijakan yang dibuat oleh pemda, yang mana birokrasinya terlalu panjang.
Terkait dengan pertanyaan ketiga, mekanismenya adalah musyawarah dan mufakat. Kalau tidak disebutkan persoalan-persoalan harus dilakukan secara berjenjang. Apabila Gubernur tidak bisa menyelesaikan dengan musyawarah dan kesepakatan, maka perselisihan tersebut akan diteruskan ke pemerintah pusat untuk menyelesaikannyal, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. “Prinsipnya penyelesaian menjadi urusan daerah yang melakukan Kerjasama itu sendiri, namun bila mengalami kebuntuan, maka dapat dimediasi atau diselesaikan oleh Kementerian Dalam Negeri”, jelasnya. “Jadi ada mekanisme peradilan atau mekanisme di luar peradilan atau mediasi”, tambahnya.
Sedangkan untuk pendanaan dalam melakukan kerjasama, Gani menambahkan bahwa apabila kerjasama tersebut belum dianggarkan dalam APBD, maka dapat diusulkan haruslah memperoleh persetujuan terlebih dahulu oleh DPRD. Terkait dengan pengawasan dari pelaksanaan kerjasama tersebut, maka hendaklah pihak-pihak yang melakukan kerjasama harus memahami naskah kerjasamanya sehingga bisa dilakukan pengawasan berdasarkan kesepakatan atau MOU dari kedua belah pihak atau daerah. (Pat)
Leave a Reply