
Jogja, dprd-diy.go.id — Ketahanan pangan, darurat sampah, hingga alih fungsi lahan menjadi sorotan utama Yayasan LKiS saat menyampaikan policy brief perubahan iklim kepada DPRD DIY. Dalam audiensi yang digelar Selasa (20/5/2025) di Ruang Banggar Lt. 2 Gedung DPRD DIY dan dipimpin Wakil Ketua DPRD DIY, Umaruddin Masdar, S.Ag., LKiS menekankan pentingnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berkeadilan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam forum yang dihadiri lintas OPD seperti Dinas Kesehatan, DLHK, Bapperida, Dinas Pendidikan, serta Dinas Pertanian DIY ini, Yayasan LKiS bersama pegiat lingkungan memaparkan lima isu utama yang dinilai mendesak, yakni darurat sampah, krisis air bersih, alih fungsi lahan pertanian, ketahanan pangan, serta pertanian lestari.
Aziz dari LKiS menjadi pembicara pertama yang mengawali pemaparan dengan menjelaskan urgensi dan latar belakang disusunnya policy brief. Menurutnya, dokumen ini merupakan hasil dari proses panjang yang melibatkan diskusi, pengumpulan data lapangan, serta refleksi para aktivis lingkungan selama dua tahun terakhir.
“Kami di sini ingin menyampaikan empat persoalan utama yang kami anggap mendesak, yakni terkait sampah, alih fungsi lahan, ketahanan pangan dan krisis air,” jelasnya.
Ia juga menyoroti adanya ketimpangan akses dan belum terwujudnya kebijakan yang berpihak pada keadilan iklim. Dalam kesempatan ini, Aziz menambahkan, “Dalam audiensi ini, teman-teman ingin membicarakan bagaimana keadilan iklim bisa diintegrasikan dalam adaptasi kebijakan. Ini hasil dari proses yang panjang, dan kami mulai dari data yang kami temukan di lapangan,” ungkapnya.
Perwakilan komunitas bank sampah seperti Nur Maulida dan Wita turut menyampaikan pengalaman langsung mereka dalam menangani persoalan sampah secara mandiri. Pihaknya menceritakan berbagai inovasi yang telah dilakukan, namun juga mengungkap sejumlah hambatan yang masih dihadapi di tingkat komunitas. Salah satunya disampaikan Ida, pengelola bank sampah yang aktif sejak 2014.
“Kami punya inovasi seperti pengolahan kompos, kerajinan dari sampah, tapi dalam pemasaran dan kurasi kami masih menghadapi banyak kendala,” ujar Ida.
Aktivis lingkungan lainnya, Ali Rohman, menggarisbawahi bahwa krisis iklim tidak bisa ditangani dengan pendekatan tunggal. Ia menyampaikan bahwa kebijakan publik harus mencerminkan beragam perspektif yang ada di masyarakat.
“Krisis iklim di DIY bersifat multidimensi. Maka, regulasi dan kebijakan seharusnya bisa dilihat dari berbagai perspektif seperti gender, keadilan sosial dan lingkungan,” katanya.
Ali juga menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis kepada Pemda DIY. Ia menekankan pentingnya penguatan kebijakan pengelolaan sampah berbasis keadilan iklim karena timbunan sampah menyumbang emisi signifikan. Ia juga mendorong adanya penegakan tanggung jawab produsen plastik, termasuk dari sektor usaha seperti kafe dan restoran. Di sisi lain, ia mengusulkan pemberian insentif untuk komunitas lingkungan seperti bank sampah yang selama ini bekerja secara swadaya. Perlindungan kawasan ekologis seperti karst dan geopark juga dinilai krusial, termasuk pentingnya penyusunan perda yang secara spesifik menjawab tantangan krisis iklim dan memberikan perlindungan bagi kelompok rentan.
“Kami juga mendorong penguatan fungsi legislasi, fasilitasi ruang dialog lintas sektor dan pengawasan anggaran yang transparan dan partisipatif,” paparnya.
Menanggapi paparan tersebut, Wakil Ketua DPRD DIY, Umaruddin Masdar, S.Ag., menyampaikan apresiasinya terhadap partisipasi dan inisiatif masyarakat sipil yang tergabung dalam LKiS dan jejaringnya. Ia menyebut bahwa ada sejumlah perda yang sudah disahkan, namun dirinya tak menampik masih adanya kekosongan dalam hal perlindungan terhadap dampak perubahan iklim.
“Masukan ini sangat penting sebagai bahan evaluasi perencanaan ke depan,” ujar Umaruddin.
Perwakilan dari DLHK DIY, Hazmi Muhammad, menambahkan bahwa pihaknya telah menjalankan sejumlah program adaptasi iklim, termasuk “Jogja Hijau” dan sekolah Adiwiyata. Ia menjelaskan bahwa program Jogja Hijau berbasis pada empat pilar utama, yaitu pengolahan sampah, konservasi air, konservasi energi dan pengelolaan ruang terbuka hijau.
“Ini semua mengarah pada adaptasi perubahan iklim yang lebih sistematis,” katanya.
Dinas Kesehatan DIY juga menyoroti pentingnya upaya preventif di bidang kesehatan lingkungan, terutama di kawasan padat sampah. Anang, mewakili dinas tersebut, menyatakan, “Kami secara rutin melakukan survei air bersih dan mendorong kawasan tetap sehat melalui layanan puskesmas,” terangnya.
Isu edukasi lingkungan juga menjadi perhatian Dinas Pendidikan. Dalam audiensi, Sumitro menyampaikan bahwa sekolah-sekolah di bawah naungan Dikpora telah didorong untuk mengelola sampah dan menerapkan kurikulum ramah lingkungan.
“Kami membina 127 sekolah di bawah Dikpora dan mendorong pengelolaan sampah mandiri sebagai bagian dari program sekolah Adiwiyata,” ucapnya.
Kepala Bapperida DIY, Haris, menjelaskan bahwa daerah ini sedang berproses menuju target ambisius net zero emission pada 2030, sebagaimana tertuang dalam Perda Ekonomi Hijau. Ia menambahkan bahwa Pergub turunannya sedang dalam proses harmonisasi dengan Kemenkumham.
“Ini adalah bagian dari strategi jangka panjang menuju pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Dari sektor pertanian, Syafii menyampaikan bahwa perubahan iklim telah berdampak nyata pada ekosistem dan hasil pertanian, terutama di wilayah Gunungkidul. Ia mengungkapkan, “Kami bahkan meminjamkan pompa ke daerah terdampak di Gunungkidul karena penurunan air tanah sudah sangat terasa,” paparnya.
Audiensi ini menjadi ruang strategis yang mempertemukan suara masyarakat sipil, komunitas akar rumput dan pemerintah daerah. Para pegiat lingkungan berharap adanya kebijakan yang lebih inklusif, sinergis dan berorientasi pada keberlanjutan.
Sebagaimana disampaikan Umaruddin Masdar dalam penutupan audiensi, “Isu ini sangat menyentuh masyarakat secara langsung. Kita perlu menanganinya bersama, melalui kolaborasi dan partisipasi semua pihak,” tandasnya. (dta/lz)
Leave a Reply