
Jogja, dprd-diy.go.id – Komisi I DPRD Provinsi Jawa Barat melakukan studi banding ke DPRD DIY pada Senin (16/6/2025), guna menggali informasi mendalam mengenai pengelolaan aset desa yang digunakan sebagai sarana pendidikan, terutama untuk SMA dan SMK negeri. Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh kompleksitas persoalan aset desa di Jawa Barat, di mana puluhan sekolah berdiri di atas tanah milik desa tanpa skema pengelolaan yang tuntas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran baik dari sisi regulasi maupun tanggung jawab fiskal pemerintah provinsi, terlebih setelah adanya peralihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi.
Ketua Komisi I DPRD Jawa Barat, H. Rahmat Hidayat Djati, M.I.P., menjelaskan bahwa pihaknya memandang perlu adanya pembelajaran dari daerah lain yang telah memiliki regulasi dan mekanisme lebih tertata dalam pengelolaan aset desa, khususnya DIY yang memiliki kekhususan dalam tata kelola pertanahan dan pendidikan.
“Kami merasa perlu belajar dari praktik-praktik baik di DIY, karena persoalan aset desa yang digunakan untuk sekolah negeri sudah menjadi isu yang cukup lama dan belum sepenuhnya terselesaikan di Jawa Barat,” ujar Rahmat.
“Berdasarkan data yang kami miliki, hingga saat ini masih ada 97 sekolah negeri yang berdiri di atas tanah desa, dan kebanyakan dari kasus tersebut belum memiliki status hukum yang jelas, baik dalam bentuk sewa, hibah, maupun tukar-menukar aset,” tambahnya.
Masalah belum selesainya status tanah ini juga diakui oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Jawa Barat. Sekretaris DPMD, Drs. M. Ade Afriandi, M.T., menyampaikan bahwa hasil pemetaan menunjukkan terdapat lebih dari 200 titik aset desa yang digunakan sebagai lokasi SMA dan SMK negeri. Namun dari jumlah tersebut, hampir setengahnya belum memiliki kejelasan dokumen atau skema hukum yang permanen.
“Kami sudah menyiapkan rencana strategi dan tindak lanjut, tetapi kami juga sadar, bahwa penyelesaian ini butuh masukan dari daerah lain. Kami berharap kunjungan ini dapat membantu kami merumuskan formula penyelesaian yang lebih terstruktur dan aplikatif, khususnya untuk pengelolaan tanah desa yang telah digunakan sebagai fasilitas pendidikan,” kata Ade.
Persoalan menjadi semakin kompleks ketika perubahan kepemimpinan di desa terjadi, sementara perjanjian kerja sama sebelumnya tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup kuat. Ketua ABPEDNAS Jawa Barat, Firmansyah Lesmana, memaparkan contoh kasus yang terjadi di SMA Negeri 1 Katapang, Bandung. Sekolah tersebut dibangun di atas tanah carik desa berdasarkan kesepakatan nonformal yang dibuat oleh kepala desa sebelumnya.
“Waktu itu memang tidak ada lahan lain, dan akhirnya desa menyediakan tanah carik untuk membangun SMA negeri. Namun seiring berjalannya waktu, kepala desa berganti, dan dokumen kesepakatan yang lama tidak diakui lagi. Selain itu, regulasi pendidikan juga semakin ketat, sehingga kepala sekolah pun tidak lagi punya kewenangan untuk menjamin hal-hal seperti kuota siswa dari desa. Ini menjadi contoh nyata dari persoalan klasik yang hingga kini belum ada penyelesaian yang tuntas,” ujarnya.
Menanggapi paparan yang telah disampaikan, Anggota Komisi C DPRD DIY, Dr. H. Aslam Ridlo, M.A.P., menyampaikan bahwa permasalahan semacam itu juga pernah terjadi di DIY, meskipun skalanya berbeda. Ia menyatakan bahwa DIY menghadapi persoalan yang sama, namun memiliki pendekatan penyelesaian yang disesuaikan dengan karakteristik keistimewaan daerah.
“Secara substansi, problemnya tidak jauh berbeda. Kami juga mengalami masa transisi kewenangan pengelolaan SMA dan SMK dari kabupaten/kota ke provinsi, yang menimbulkan tantangan baru dalam pengelolaan aset. Namun, berkat keistimewaan yang kami miliki, DIY bisa menyusun kebijakan dan pendekatan yang relatif fleksibel terhadap aset desa,” jelas Aslam.
Aslam menjelaskan bahwa fleksibilitas dalam pengelolaan aset desa di DIY ditunjang oleh keberadaan Dana Keistimewaan (Danais) yang memungkinkan pemerintah daerah mendukung kegiatan pendidikan dan pengelolaan pertanahan secara lebih mandiri. Ia mencontohkan skema kerja sama yang diterapkan di SMK Negeri 1 Pleret, Bantul.
“Di SMK 1 Pleret, kami menggunakan tanah kas desa melalui mekanisme sewa. Peraturan desa memperbolehkan hal ini, dan bahkan sudah mengatur tarif sosial bagi kegiatan pendidikan. Ini menjadi win-win solution, karena tidak membebani keuangan daerah secara berlebihan, dan di sisi lain desa juga mendapat kepastian manfaat ekonominya,” terangnya.
Pada kesempatan tersebut, ia juga memaparkan kondisi fiskal DIY yang didukung Danais sebesar Rp1,2 triliun pada tahun 2025, meskipun angkanya turun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp1,7 triliun.
“Dengan Danais, kami punya keleluasaan untuk mengatur tata ruang dan pertanahan secara lebih menyeluruh, termasuk untuk mendukung kebutuhan pendidikan dan pembebasan lahan. Ini salah satu keunggulan fiskal yang membuat kami bisa lebih leluasa dalam membuat kebijakan,” jelasnya.
Kepala Bidang Pengelola Barang Milik Daerah DIY, Zulaifatun Najjah, S.E., M.Si., menegaskan bahwa kebijakan DIY sangat menghargai kewenangan desa dalam mengelola asetnya. Oleh karena itu, skema sewa-menyewa maupun sertifikasi atas nama pemda dilakukan sesuai dengan regulasi desa setempat.
“Desa di DIY memiliki payung hukum sendiri untuk mengelola tanah kasnya. Maka kami, sebagai pemda, hanya bisa mengikuti aturan tersebut. Ada yang tanahnya disewa, ada yang sudah kami sertifikatkan atas nama pemda. Semua berjalan sesuai dengan kesepakatan yang sah dan aturan yang berlaku di desa tersebut,” paparnya.
Anggota Komisi I DPRD Jabar, Dr. Ir. Edi Askari, M.M., menyambut baik penjelasan tersebut. Ia menaruh perhatian besar terhadap Pergub DIY No. 24 Tahun 2024 tentang Pemanfaatan Tanah Kalurahan yang menurutnya bisa menjadi acuan penting bagi Jawa Barat.
“Bagi kami, regulasi seperti pergub ini bisa menjadi pelajaran penting, karena di Jabar, banyak sekolah berdiri di atas tanah desa tanpa dasar hukum yang kuat. Di Sumedang, misalnya, dari 600 sekolah dasar, mungkin setengahnya ada di atas tanah desa. Kalau dibiarkan, ini bisa menjadi bom waktu, apalagi jika sampai mengganggu APBD kabupaten,” kata Edi.
Aslam pun menjelaskan bahwa Pergub tersebut disusun sebagai tindak lanjut dari Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) tentang pertanahan, dengan tujuan memperjelas status tanah kasultanan dan kalurahan, serta untuk mencegah konflik yang kerap muncul akibat klaim kepemilikan pribadi.
“Pergub ini merupakan payung hukum untuk menjaga kepastian status tanah, terutama yang termasuk dalam Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Tujuan utamanya agar tidak ada lagi tumpang tindih kepemilikan atau klaim dari pihak yang mengatasnamakan warisan keluarga keraton,” urainya.
Menutup pertemuan, Aslam menyampaikan bahwa DPRD DIY akan memfasilitasi penyampaian informasi dan data teknis dari perangkat daerah terkait, guna mendukung Komisi I DPRD Jabar dalam merumuskan kebijakan yang tepat.
“Akan kami bantu fasilitasi agar dinas-dinas teknis, seperti Dinas Pendidikan, Dispertaru, maupun Dinas Pemberdayaan Kalurahan, dapat menyampaikan informasi yang lebih rinci. Kami ingin mendukung Jabar agar bisa menyusun skema penyelesaian yang sesuai dengan kebutuhan dan kekuatan daerah masing-masing,” tutup Aslam. (dta/lz)
Leave a Reply