
Jogja, dprd-diy.go.id – Ketua Komisi B DPRD DIY, Andriana Wulandari, S.E., bersama Ketua Komisi D DPRD DIY, RB. Dwi Wahyu B., S.Pd., M.Si., menerima audiensi dari Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY di Ruang Banggar DPRD DIY pada Selasa (14/01/2024). Audiensi ini bertujuan membahas dugaan praktik union busting di PT Taru Martani 1918 serta isu kerja layak yang dihadapi para pekerja. Hadir dalam pertemuan tersebut sejumlah anggota Komisi B dan Komisi D DPRD DIY, OPD terkait, serta perwakilan dari PT Taru Martani.
Koordinator MPBI DIY, Irsyad Ade Irawan, menjelaskan bahwa dugaan union busting terjadi ketika salah satu pengurus inti Federasi Serikat Pekerja NIBA SPSI DIY diberhentikan oleh manajemen PT Taru Martani. Ia juga menyoroti perlunya sinergi antara serikat pekerja dan BUMD untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja.
“Kami meminta adanya komitmen bersama antara DPRD, pemerintah daerah, serikat buruh dan BUMD untuk memastikan hak berserikat dilindungi. Saat ini, pendapatan buruh masih berada di angka dua jutaan, padahal standar hidup layak di DIY membutuhkan sekitar 3,5 hingga 4 juta rupiah per bulan,” tegasnya.
Selain dugaan union busting, MPBI juga melaporkan beberapa kasus terkait pelanggaran kerja layak. Beberapa di antaranya adalah kekerasan verbal yang dialami pekerja perempuan dan kondisi kerja yang tidak mendukung. Irsyad menyoroti pentingnya kampanye kerja layak agar isu ini mendapat perhatian lebih luas.
Ketua Komisi B DPRD DIY, Andriana Wulandari, menyatakan bahwa audiensi ini menjadi langkah awal untuk mempertemukan semua pihak terkait, termasuk Badan Pengawas BUMD, Direksi PT Taru Martani dan Dinas Tenaga Kerja.
“Permasalahan ini akan kami tindak lanjuti dengan pembahasan yang lebih rinci. Kami berharap Dirut baru PT Taru Martani dapat membawa perubahan positif bagi perusahaan,” ujar Andriana.
Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD DIY, RB. Dwi Wahyu B., menegaskan bahwa isu ini mencakup dua aspek penting, yakni manajemen BUMD dan perlindungan tenaga kerja. Ia juga menyarankan penyelesaian masalah secara kekeluargaan, khususnya untuk kasus yang melibatkan pekerja perempuan.
“Kami sepakat bahwa komunikasi antara manajemen dan pekerja harus ditingkatkan. PT Taru Martani juga perlu melakukan evaluasi agar persoalan seperti ini tidak terulang,” katanya.
Dalam audiensi ini, MPBI memaparkan beberapa kasus kekerasan verbal yang dialami pekerja di PT Taru Martani. Salah satu kasus menonjol adalah yang dialami oleh Theresia Sudira, mantan karyawan yang kini mengalami gangguan kejiwaan akibat beban kerja yang cukup berlebih. Perwakilan MPBI menegaskan bahwa kekerasan verbal dan pelanggaran kerja layak ini harus menjadi perhatian semua pihak.
“Saat ini, beliau sudah menjalani terapi, namun masih ada perselisihan terkait pembayaran upah yang perlu segera diselesaikan,” ujar Irsyad.
Direktur Utama PT Taru Martani, Widayat Joko Priyanto, S.T., M.M., CRP, menyatakan bahwa pihaknya sedang melakukan pembenahan internal, termasuk dalam pengelolaan tenaga kerja.
“Kami memastikan tidak ada praktik union busting di perusahaan kami. Jika ada kesalahpahaman, kami berkomitmen untuk menyelesaikannya dengan baik,” jelasnya.
Widayat juga menambahkan bahwa manajemen telah memberikan opsi kepada Theresia Sudira sebelum pengunduran dirinya, seperti pemindahan tugas atau penambahan tenaga kerja di bagian terkait. Namun, hingga saat ini masih ada perselisihan terkait pesangon.
“Untuk pesangon sudah kami bayarkan sesuai perundangan yg berlaku, tetapi yang diinginkan sesuai PKB terdahulu, ada selisih sekitar 5x gaji, dan saat ini masih proses negosiasi dan mencari win-win solution,” ujarnya.
Menanggapi laporan kekerasan verbal, Widayat menganggap hal tersebut sebagai salah paham.
“Kekerasan verbal itu mungkin salah paham, itu jadi kewajiban kami juga sebagai pimpinan untuk menegur jika ada sikap atau pelanggaran. Kami sepakat bahwa bekerja harus nyaman dan produktif. Tata kelola yang baik adalah prioritas kami untuk menjaga kepentingan seluruh pihak, termasuk karyawan. Kami sepakat tidak ada union busting, no union busting. Kemarin ada salah sangka sudah terselesaikan dan sudah kami perbaiki,” tambahnya.
Andriana Wulandari menutup audiensi dengan menyatakan bahwa DPRD DIY akan terus mengawal isu ini.
“Untuk permasalahan yang termuat dalam surat audiensi sudah selesai, bahwa para pekerja sudah dipekerjakan kembali. Namun, terkait kerja layak, saya kira ini hubungan industrial yang harus dirapatkan, harus banyak komunikasi. Hari ini Taru Martani punya tanggung jawab, PR besar terkait permasalahan kemarin,” ungkap Andriana.
“Silakan panjenengan (MPBI) membuat surat untuk pertemuan selanjutnya, nanti kami akan memanggil semua pihak terkait untuk memastikan penyelesaian yang menyeluruh. Saat ini, PT Taru Martani memang sedang dalam masa pembenahan, tetapi kita harus tetap mengutamakan komunikasi dan kerja sama,” imbuhnya.
RB. Dwi Wahyu B. juga menegaskan pentingnya pendekatan personal dalam menyelesaikan konflik tenaga kerja.
“Saya sepakat bahwa regulasi harus menjadi pedoman, tetapi pendekatan kekeluargaan juga sangat penting. Ini menjadi evaluasi besar bagi PT Taru Martani dan seluruh BUMD di DIY agar lebih memperhatikan kesejahteraan pekerja,” pungkasnya.
Dengan audiensi ini, DPRD DIY bersama MPBI dan PT Taru Martani berharap dapat menciptakan hubungan industrial yang lebih harmonis serta mencegah praktik union busting di masa depan. (dta/lz)
Leave a Reply