
Sekolah ramah anak sudah seharusnya menjadi prioritas dalam sebuah pembelajaran. Namun hal tersebut masih belum dapat diimplementasikan oleh setiap sekolah baik sekolah negeri atau pun swasta. Kaukus Perempuan Parlemen (KPP)DIY merasa prihatin atas hak-hak anak yang terkadang terabaikan ketika belajar. Masa anak-anak yang seharusnya diwarnai dengan belajar menyenangkan berlaku sebaliknya. Hal tersebut dapat terjadi melalui kurikulum yang memberatkan, guru yang kurang sabar dan telaten, serta lingkungan sekolah yang lebih menekankan pada sangsi dengan alasan mendidik siswa menjadi pribadi yang disiplin.
Keprihatinan KPP DIY diwujudkan salah satunya dengan mengadakan seminar Pada Sabtu, 13 Mei 2017 di DPRD DIY yang dihadiri oleh direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, serta perwakilan sekolah yang telah dipandang pemerintah menerapkan budaya sekolah ramah anak. Penasehat KPP, Arif Noor Hartanto mendukung sepenuhnya kegiatan KPP karena dipandang mampu berkontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat terutama perempuan dan anak. Ia mencontohkan tema yang saat ini sedang diseminarkan ialah langkah untuk mewujudkan generasi bangsa yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual dengan fasilitas belajar yang ramah, melainkan dapat membentuk karakter generasi bangsa yang baik.
Kadarmanta Baskara Aji selaku narasumber memandang pentingnya menciptakan ruang belajar yang ramah terhadap anak. Implementasi sekolah ramah anak diwujudkan tidak hanya melibatkan lingkungan sekolah saja, melainkan keluarga dan masyarakat. Orang tua dapat menjadi teman yang baik bagi anak. Misal tidak memarahi ketika anak mendapatkan nilai jelek, sedangkan saat anak belajat orang tua tidak mendampingi. Terlebih menyalahkan guru karena dianggap tidak dapat mengajari anaknya memahami sebuah pelajaran tertentu. “Jadi butuh berbagai pihak untuk mewujudkan sekolah ramah anak.” Jelas Aji.
Anis Rahmani Kepala sekolah SMAN I Cangkringan telah menerapkan sekolah ramah anak. Misal di SMAN I Cangkringan tidak menggunakan istilah hukuman bagi yang melanggar tata tertib. Istilah hukuman diganti dengan pembeda. Artinya harus ada sikap pembeda bagi yang disiplin dan kurang disiplin. Selain itu, siswa dilibatkan dalam pembentukan “pembeda” yang kemudian disepakati dan disosialisasikan. Misal bagi yang telah diminta meilih mengerjakan soal, mencabut rumput atau lainnya sesuai dengan tata tertib yang telah disepakati bersama.
Sekolah Cangkringan juga menerapkan perpustakaan berada di setiap ruang-ruang pojok jalan yang bisa diakses oleh siswa kapanpun. Dalam hal ini dipandang penting terntang memberi kepercayaan kepada siswa. “sekolah ramah anak itu tidak ada kecurigaan.” Jelasnya.
Sedangkan Ifa Aryani dari LSPPA memandang budaya Bulying merupakan budaya yang tidak baik. Kenyataannya bullying dipandang menjadi suatu hal yang hampir banyak dilakukan di lingkungan sekolah, baik dilakukan oleh antar siswa bahkan guru. Misal yang tidak dapat mengerjakan dilabeli bodoh. (S)
Leave a Reply