Jogja, dprd-diy.go.id – DPRD DIY selenggarakan acara sarasehan dengan mengangkat pembahasan terkait ‘Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kesehatan Jiwa’ pada hari Jumat (23/12/2022). Pada acara sarasehan ini menghadirkan narasumber Drs. Farid Bambang Siswantoro, C-Me., MIP, Ketua Komite Disabilitas DIY, Restu Tri Handoyo, SPsi., MPsi., PhD, Dosen UGM serta Drs. Tri Saktiyana, M.Si., Bupati Kulon Progo (Keynote Speaker).
Pada sambutannya, Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana, S.T. menyampaikan bahwa kesehatan jiwa merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Ia juga menyampaikan bahwa dalam Raperda Penyelenggaraan Kesehatan Jiwa tersebut ada pengupayaan penempatan psikolog klinis di fasilitas kesehatan tingkat satu yakni di Puskesmas.
Tri Saktiyana menyampaikan bahwa salah satu faktor penyebab seseorang mengalami gangguan kejiwaan adalah tekanan kecemasan dan pikiran yang berlebihan. Selain itu, ia menyampaikan bahwa di Kabupaten Kulon Progo sendiri telah terdapat Peraturan Bupati Nomor 85 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Pengendalian Kesehatan Jiwa Kabupaten Kulon Progo Tahun 2021-2025.
Adanya Perbup tersebut sebagai wujud nyata Pemerintah Kulon Progo dengan menghadirkan payung hukum dalam upaya penanganan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tentunya implementasi Perbup membutuhkan sinergi dari seluruh elemen masyarakat maupun instansi (Perguruan Tinggi UGM).
Sementara itu, Farid Bambang Siswantoro mengatakan bahwa terjadi ketimpangan fasilitas pendampingan dan pelayanan publik (kesehatan jiwa) di kabupaten-kabupaten yang ada di DIY. Wilayah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul menjadi daerah dengan keterbatasan fasilitas pendampingan dan pelayanan publik bagi para penyandang disabilitas kesehatan jiwa.
“Pendampingan atau layanan publik kepada difabel kesehatan jiwa itu sangat sedikit. Di Gunungkidul itu sangat sedikit, kalau di Sleman setiap puskesmas sudah ada psikolognya,” tuturnya.
Secara realita, permasalahan lain yang dihadapi yakni banyaknya kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul. Farid Bambang menegaskan bahwa faktor penyebab bunuh diri terjadi pada seseorang yang mengalami gangguan mental dan depresi.
Restu Tri Handoyo memaparkan materi bahwa seseorang dengan gangguan mental sejatinya membutuhkan support dari orang-orang di sekitarnya. Salah satunya sekolah yang menjadi salah satu tempat bagi anak. Ia memaparkan bahwa psikolog puskesmas dapat diberdayakan melakukan screening pada Ibu hamil, kesiapan calon penggantin, ataupun tumbuh kembang balita.
“Jadi sebetulnya dengan mengadakan psikolog puskesmas pemberdayaannya bisa sangat luas terutama ketika kita mengambil perspektif tadi bukan hanya kuratif bukan hanya menangani yang mengalami gangguan tapi kita juga bicara perspektif yang lebih preventif dan promotif,” ungkapnya.
Pada sesi diskusi, Kristina dari perwakilan Perhimpunan Jiwa Sehat Yogyakarta menyampaikan usulan terkait panti-panti.
“Karena disabilitas psikososial biasanya akan dibawa ke panti-panti sosial dan di dalam panti sosial kondisinya sangat memprihatinkan karena masih ada isolasi, pemberian obat paksa dan sebagainya yang sangat tidak sesuai dengan standar kesehatan. Oleh karena itu, raperda ini kami mengusulkan adanya monitoring dan evaluasi berkala untuk panti-panti sosial dan itu diakomodasi serta kami mengusulkan adanya konsep panti yang lebih terbuka,” ungkap Kristina.
Harapannya melalui konsep panti yang terbuka dimana tidak diinklusi dan terintegrasi dengan masyarakat dapat mendorong proses pemulihan (kesehatan jiwa) itu lebih cepat.
Menanggapi hal tersebut, Tri Saktiyana menyampaikan harapannya jika fasilitas layanan kesehatan jiwa dapat diakses oleh masyarakat tidak hanya di rumah sakit jiwa akan tetapi di rumah sakit umum juga.
“Kami lebih berharap di kabupaten-kabupaten itu tidak ada rumah sakit jiwa khusus tapi menyatu dengan rumah sakit umum sehingga orang tidak malu ke sana,” ungkap Tri Saktiyana dalam akhir sesi diskusi acara Sarasehan. (rns)
Leave a Reply