Jejak Pangeran Diponegoro, Warga Makasar Marah Jika Makamnya Dipindah

MAKASSAR – Nama Pangeran Diponegoro tentu tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, khususnya warga Yogyakarta. Sepak terjang pahlawan nasional yang memiliki nama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo (1785-1855) ini sangat disegani.

Perjuangannya melawan penjajahan Belanda melalui perang gerilya mulai 1825 hingga 1830 begitu dikenal masyarakat. Tak hanya warga Yogyakarta, Putra Raja Yogyakarta ini juga sangat dicintai masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan, tempat dimana dia diasingkan di masa akhir hayatnya.

Selama empat hari, yakni Selasa (22/1) hingga Jumat (26/1) rombongan wartawan unit DPRD DIY bersama dengan Sekertariat DPRD DIY dan Wakil Ketua DPRD DIY melakukan kunjungan ke Makassar. Selama di Bumi Daeng ini, rombongan jurnalis ini mencoba menelusuri hubungan yang akrab antara Yogyakarta dan Makassar.

Salah satu bukti sejarah keakraban Yogya dan Makassar ini terletak di kompleks Kampung Jawa, tempat dimakamkannya Pangeran Diponegoro dan keturunanya yang terletak di Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Makassar. Kompleks Makam Pangeran Diponegoro terlihat sangat sederhana dhimpit oleh bangunan tinggi menjulang di tengah kota. Makam sederhana ini terdiri dari pintu gerbang, pendapa dan 66 makam.

Terdapat dua makam berkururan besar yang letaknya berdampingan, yakni makam Pangeran Diponegoro dan istrinya yang ikut dalam pengasingan, RA Ratu Ratna Ningsih. Selain itu, terdapat 25 makam ukuran sedang, dan 39 makam ukuran kecil. Makam-makam tersebut adalah makam enam orang anaknya, 30 orang cucu, 19 orang cicit dan 9 orang pengikutnya. Di kompleks makam ini juga ada musala dan pendapa.

Juru kunci makam R Hamzah Diponegoro yang juga generasi ke lima Pangeran Diponegoro menjelaskan, pada awalnya tidak ada masyarakat yang tahu jika Pangeran Diponegoro diasingkan di Banteng Fort Rotterdam yang lokasinya juga tak begitu jauh dari kompleks makam.

Baru setelah Pangeran Diponegoro meninggal warga dan masyarakat baru mengetahuinya ada pejuang yang selama 21 tahun hidup di pengasingan di Makassar. “Baru setelah itu anak cucunya menikah dengan orang Bugis dan tinggal di Makassar,” terangnya.

Menurut Hamzah, sebelum tahun 70-an kompleks makam Pangeran Diponegoro ini tak sebaik sekarang. Pembangunan makam dilakukan setelah dibantu oleh Kodam IV Diponegoro. Pada 2007 lalu, Pemprov Jateng juga memberikan sumbangan agar kompleks menjadi makin baik.

“Bantuan dari Kodam IV Diponegoro karena menjadi simbol kemiliteran. Saya kebetulan dipercaya merawat makam setelah ayah saya juga mendapat kekancingan dari Keraton Yogya pada 2015 silam,” terangnya.

Hamzah menyebutkan, banyak tokoh masyarakat yang datang berziarah ke Makam Pangeran Diponegoro, mulai Wapres Jusuf Kalla, orangtua Jokowi hingga GKR Pembayun (Mangkubumi) juga pernah datang berziarah ke makan anak Sri Sultan Hamangku Buwono III ini.

Wakil Ketua DPRD DIY Arif Noor Hartanto menyebutkan, makam Pangeran Diponegoro yang berada di Makassar ini bentuk hubungan baik antara Makassar dan Yogyakarta. Ia menilai  hubungan baik ini perlu untuk dilanjutkan.

“Kunjungan kerja ini merupakan program kerja DPRD DIY. Ini bukan kunjungan biasa namun ini sebagai silaturahmi kebangsaan. Hubungan yang baik di masa lalu ini harus terus dilanjutkan,” jelasnya.

Kepala Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Sulawesi Selatan, Yulianus Batara Saleh menyebut Kampung Jawa adalah salah satu bukti kedekatan masyarakat Sulsel dengan DIY. Sosok Pangeran Diponegoro juga sangat dicintai dan sudah dianggap sebagai orang Makasssar.

Saat ditanya wartawan soal wacana memindahkan makam Pangeran Diponegoro ke Yogya seperti pemindahan makam Paku Buwono VI dari Ambon ke Imogiri dan wacana pemindahan Makam Tan Malaka dari Kediri Sumatera Barat, Yulianus menjawab tegas. “Kami marah kalau makam dipindah,” tandasnya.

Senada, Sekartaris Disbudpar Sulawesi Selatan, Pancawati, menyebutkan, sekitar 10 tahun yang lalu ada anggota Dewan yang datang ke Makassar dan mewacanakan untuk menindahkan makam tersebut ke Pulau Jawa. “Namun wacana itu kita tolak. Kita tidak mau. Ini bukti ikatan emosional kita,” tegasnya.

Arif Noor Hartanto juga menyebut Diponegoro adalah simbol perawalanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda dan kebangan bersama elemen bangsa. “Ampun dipindah, mangkeh ndak didukani masyarakat Makassar,” ucapnya.(thm)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*