Jogja, dprd-diy.go.id – Sejumlah UKM DIY yang tergabung dalam Jogja Tangguh Berdaya (JOTA) menyampaikan aspirasi terkait kendala dalam standardisasi produk. Sulistyorini perwakilan kelompok menyampaikan beberapa UKM di DIY mengalami kesulitan dalam pembuatan sertifikasi produk.
Terkait dengan sertifikasi PIRT diungkapkan Sulistyorini beberapa UKM masih belum mampu memenuhi standar tempat produksi. Beberapa bangunan fisik UKM skala kecil tidak memenuhi standar karena merupakan bangunan semi permanen.
“Bangunannya semi permanen dengan tempat seadanya. Ini banyak dialami di UKM Bantul, Gunung Kidul dan Kulon Progo,” ungkapnya dalam audiensi, Rabu (23/12/2020).
Ia menyayangkan sulitnya mendapatkan sertifikat PIRT bagi UKM yang belum memenuhi standar kelayakan tempat produksi. Kelompok UKM ini berharap kepada DPRD DIY dan Pemda DIY agar dapat memberikan bantuan kelayakan tempat produksi bagi UKM yang mengalami hal tersebut.
“Padahal produknya bagus, sangat sayang jika sulit mendapatkan sertifikat (PIRT). Harusnya terkait sarana prasarana diperhatikan juga. Kami harap pemerintah dapat memberikan bantuan renovasi ruang produksi guna kemudahan kepada UKM memenuhi standar,” harapnya.
Pembuatan Sertifikat Halal juga masih dirasakan sulit oleh sebagian UKM karena kurangnya sosialisasi dan proses birokrasi yang dirasa rumit oleh pelaku UKM. Saat ini proses semakin dirasa sulit karena pembuatan sertifikasi halal dalam transisi ke BPJPH.
“Untuk kemajuan UKM terutama dalam bidang kuliner makanan dan minuman, sertifikasi halal sangat penting. Kami harap pembuatannya dan informasinya bisa satu pintu agar lebih mudah dalam mendapatkan sertifikasi halal,” jelasnya.
Terkait Sertifikasi Ijin Edar BPOM dan HACCP, Sulistyorini berharap ada perhatian lebih dari pemerintah dalam hal peningkatan sarana prasarana guna memnuhi standar penilaian. Sulistyorini menambahkan bahwa banyak UKM potensial melakukan ekspor, namun terkendala karena belum memiliki sertifikasi BPOM dan HACCP.
“Kami harap ada bantuan dari pemerintah dalam sertifikasi BPOM dan HACCP. Terutama untuk UKM yang produknya masuk kategori produk potensial ekspor,” harap Sulistyorini.
Selain itu Tabel Angka Gizi (Nutrition Fact) dalam produk makanan dan minum jug adirasa penting untuk mendorong ekspor UKM di DIY. Terkait pembuatannya, UKM mengalami kendala dalam keterbatasan lab gizi.
“Mohon ada sertifikasi buat ini (tabel angka gizi) khususnya untuk produk siap ekspor. Di lab UGM tidak semua produk bisa mendapatkan ini karena alat terbatas,” jelasnya.
Ia juga menyarankan agar membuat satu rumah produksi terpadu yang bekerjasama dengan Balai Teknologi Tepat Guna (BTTG). Hal ini sangat bermanfaat untuk mempermudah pembuatan sertifikat dan standardisasi produk lainnya.
“Bisa kerja sama dengan BTTG membuat satu rumah produksi. Dimana setiap produk yang keluar dari tempat itu sudah lengkap sertifikatnya sehingga produk siap diluncurkan ke pasar dan standardisasi produk terpenuhi,” tuturnya.
Ia turut mengeluhkan bahwa setelah para pelaku UKM melakukan pendaftaran pembuatan sertifikat, diakui beberapa sertifikat baru keluar dalam waktu lebih dari 2 tahun. Kepada dinas terkait, kelompok ini memohon untuk menindaklanjuti proses pembuatan sertifikat yang melebihi waktu.
Danang Wahyu Broto, Ketua Komisi B yang membidangi UKM menanggapi bahwa bantuan secara materi tentunya akan diberikan kepada UKM yang benar-benar membutuhkan dengan skala prioritas. Danang mengimbau Pemda agar memantau proses standardisasi produk untuk menghindari proses yang terlalu lama.
“Teman-teman dinas saya harap bisa dicari tahu prosesnya ini (standardisasi produk) sampai dimana. Sebenarnya yang penting adalah kepastiannya agar teman-teman UKM tidak menunggu terlalu lama,” ungkapnya. (fda)
Leave a Reply