Jogja, dprd-diy.go.id – Senin (23/08/2021) DPRD DIY mengadakan rapat paripurna internal. Pada kesempatan ini Komisi B menyampaikan usulan Raperda Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Sekretaris Komisi B, Atmaji menyampaikan gambaran umum dari naskah akademik usulan raperda tersebut.
Berdasarkan penjelasannya banyak isu strategis terkait nelayan dan perikanan yang harus segera diselesaikan.
“Banyak isu strategis yang masih harus segera diselesaikan. Misal terbatas akses modal, daya saing produk kurang, dan lain lain,” ungkapnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 disebutkan bahwa urusan perlindungan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Gubernur DIY sendiri memiliki visi ‘Menyongsong Abad Samudera Hindia untuk Kemuliaan Martabat Manusia Jogja’ yang berarti pula fokus pembangunan ada di daerah selatan.
Berdasarkan hasil pembahasan di Komisi B, kebutuhan akan raperda ini didasari oleh beberapa hal meliputi kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), sarana prasarana, pembiayaan dan pemodalan, faktor luar serta sistem logistik.
Kapasitas SDM merupakan faktor penting dalam pekerjaan ini, namun di DIY sendiri para nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam belum memiliki ijazah formal. Hal tersebut membuat sulit bersaing apalagi sebagian besar nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam berasal dari luar DIY.
“Terkait sarana dan prasarana pembudidaya ikan dan tambak garam berdasarkan hasil penelitian di Jogja masih kurang memadai. Hal ini tentu membatasi jumlah tangkapan ikan,” jelasnya.
Terkait pembiayaan dan pemodalan para nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam diketahui cukup sulit mengakses modal. Salah satu permasalahan ini disebabkan karena lahan yang bukan dimiliki sendiri dan bidang usaha yang berisiko tinggi. Selain itu, usaha ini belum memiliki badan hukum sehingga menyulitkan untuk mendapatkan bantuan modal.
Sementara terkait faktor luar yang membuat daya saing produk perikanan di DIY tergolong rendah. Persoalan tersebut disebabkan oleh garam yang belum memiliki sertifikasi dan harga ikan yang tidak menentu.
Berdasarkan hasil pengkajian ditemukan bahwa sistem logistik ikan dan garam ini masih belum sistematis. Padahal manajemen logistik sangat penting untuk meningkatkan kapasitas dan stabilitas produksi.
“Sistem logistik masih belum baik, nelayan masih harus antar secara mandiri. Belum ada tempat khusus gudang untuk menyimpan,” terang Atmaji.
Setelah menyampaikan penjelasannya, Atmaji berharap agar usulan raperda yang disampaikan ini dapat diterima untuk dibahas dalam pansus. (fda
Leave a Reply