
Jogja, dprd-diy.go.id – Joko B Purnomo, Ketua Panitia Khusus (Pansus) BA 17 Tahun 2019 memimpin kegiatan Public Hearing di Ruang Rapat Paripurna lantai 2 Gedung DPRD DIY. Kegiatan diadakan untuk mendengarkan masukan dan pendapat terkait Raperda Pemeliharaan dan Pengembangan Batik Jogja. Public Hearing yang dilaksanakan pada Kamis (1/8/2019) dihadiri oleh lembaga eksekutif terkait, tim penyusun Raperda, tim fasilitasi Raperda, lembaga-lembaga terkait, akademisi, dan para pegiat batik di DIY.
Tim penyusun Raperda menyampaikan bahwa penyebutan ‘Batik Jogja’ dituliskan karena mengikuti brand image dari kata ‘Jogja’ sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar masyarakat baik dalam maupun luar negeri lebih akrab mendengar penyebutan Provinsi DIY dengan kata Jogja.
Selain itu tim penyusun menjelaskan fungsi dari dibuatnya Perda ini adalah untuk memelihara dan mengembangkan batik Jogja sebagai warisan budaya dan nilai luhur. Pemeliharaan dan pengembangan batik Jogja juga merupakan cara untuk menunjukkan keistimewaan DIY. Adanya pemeliharaan dan pengembangan batik Jogja turut berkontribusi membangun potensi sosial, ekonomi, dan budaya DIY di peradaban dunia.
Melalui pembuatan Perda ini DPRD DIY dan Pemda DIY berupaya untuk mewujudkan batik Jogja sebagai bagian dari kreativitas sosial dan budaya masyarakat DIY. Menurut tim penyusun dengan adanya Perda ini nantinya kesejahteraan sosial ekonomi pelaku batik di DIY dapat meningkat. Hal utama yang menjadi latar belakang dibentuknya Perda ini adalah untuk mempertahankan Jogja sebagai Kota Batik Dunia.
Pada kegiatan ini tim penyusunmenjelaskan bagan peta konsep Perda Pemeliharaan dan Pengembangan Batik Jogja. Pada peta konsep tersebut bahwa peraturan ini nantinya diawali dengan penguatan melalui pembinaan dan pendampingan para pelaku batik Jogja. Peraturan ini juga mengatur kerjasama, penghargaan, dan pendanaan pemeliharaan dan pengembangan batik Jogja. “Pada intinya yang kami harapkan dari Perda ini adalah adanya regsitrasi atau upaya perlindungan dengan cara penamanan dan penyematan fasilitasi pendaftaran hak kekayaan intelektual,” jelas tim penyusun.
Timbul Raharjo dari Fakultas Seni Rupa Intitut Seni Indonesia Yogyakarta memberikan masukan agar tim penyusun Raperda memperjelas motif batik menjadi indikasi geografis DIY. Timbul turut menambahkan agar Perda ini juga mengatur mengenai produksi batik, karena dimungkinkan ada perubahan tren, teknik, dan model.
Sementara dosen dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menambahkan mengenai teknik khas pembuatan batik Jogja. Turut dipertanyakan penanganan masalah lingkungan serta memberi masukan agar memuat aturan penangan batik lingkungan.
Kemenkumham menjelaskan mengenai pentingnya brand dan pengelolaan perdagangan batik Jogja. Menurut Kemenkumham batik Jogja harus memili brand dagang, namun tidak perlu mencantumkan komposisi bahan yang digunakan. Gunanya adalah untuk kerahasiaan kekhasan batik Jogja. Ketentuan komposisi juga berguna untuk membuat SNI batik Jogja yang baku.
“Dalam Perda ini kami batasi kami maksud adalah kerajinan tangan. Sehingga nanti kita butuh upaya sosialisasi mana batik yang identifikasi geografis mana yang kekayaan intelektual. Kami sepakat bahwa semuanya harus memperhatikan Raperda ini. Harapannya juga pengaturan hukum yang akan ada nanti sinkron dengan peraturan ini,” jelas tim penyusun dari Kemenkumham.
Sebelum kegiatan diakhiri, Joko memberikan kesimpulan dari hasil pertemuan kegiatan public hearing. Pertama, melindungi batik Jogja dan batik dalam konteksnya yang memiliki nilai ekonomi harus dibedakan, namun persoalan ekonomi harus dibahas di luar forum ini. Kedua, melindungi kekayaan batik Jogja dan outcome-nya ekonomi. Joko menambahkan bahwa pemerintah daerah diharapkan agar memfasilitasi sentra batik yang akan dibuat sekolah batik dan pengelolaan limbahnya. Melalui kegiatan ini Joko menambahkan bahwa tujuan dari Perda ini adalah untuk mengadakan pengelolaan bahan alami secara mandiri. (fda)
Leave a Reply