Masukan Pakar Terhadap Raperda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Jogja, dprd-diy.go.id – Pansus BA Nomor 7 Tahun 2023 telah melangsungkan Public Hearing dalam rangka mendengar masukan para pakar, praktisi, dan akademisi terhadap Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) pada Kamis (06/04/2023). Public hearing dipimpin Ir Atmaji selaku ketua pansus dan dihadiri sejumlah organisasi perangkat daerah, serta stakeholder terkait.

Pakar yang diundang untuk menjadi narasumber yaitu Tantri dari BPKA DIY, Asih Tri Wahyuni, S.STP, M.Si. selaku kabid Bidang Pendataan, Penetapan, dan Pengembangan Pendapatan BKAD Kab. Gunung Kidul, dan Said Ibrahim, M. ACC dari Praktisi Keuangan Daerah.

Tantri menjelaskan jika raperda PDRD harus segera diundangkan paling lambat pada 25 Januari 2024. Sebab Undang-undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah ditetapkan, artinya perda PDRD ini juga harus segera dibahas, ditetapkan disosialisasikan kepada masyarakat sebagai payung hukum turunan dari perppu tersebut.

Tantri juga menjelaskan tentang hal baru yang ada dalam penerapan UU HKPD yaitu opsen PKB dan BBNKB merupakan objek pajak dari kabupaten kota dan Opsen Pajak MBLB ditingkat provinsi, “opsen ini adalah pemungutan tambahan, tetapi kami diminta untuk tidak memberatkan wajib pajak karena opsen dipungutnya bersama pajak daerah. Hal tersebut terdapat dalam pasal 1 UU HKPD”, ungkapnya.

Kemudian disebutkan oleh Asih terkait hambatan-hambatan yang dialami dalam penyusunan Raperda PDRD adalah yang pertama terkait belum terbitnya peraturan pemerintah yang didelegasikan dalam UU 1 Tahun 2022 berikut turunannya. UU tersebut berbeda dengan UU 28 th 2009, yang mana pada UU tersebut cukup rinci dan untuk UU 1 Tahun 2022 banyak mendelegasikan peraturan pemerintah maupun peraturan menteri tetapi belum ada yang terbit. 

“Yang terbit baru RPP yang diminta kemendagri untuk acuan daerah untuk menyusun raperda, tetapi belum semua UU, sementara semua yang didelegasikan belum diatur dalam RPP”, ungkap Asih. 

Kesulitan lain adalah adanya muatan baru pada RPP yang secara operasional sulit untuk diterapkan dalam raperda. Contohnya seperti BLUD menjadi retribusi, sementara ketika itu masuk retribusi pusat harus mensinkronkan beberapa peraturan pemerintah dan turunannya sehingga nanti pemerintah dapat menurunkan dalam Perda atau Pergub. 

Yang ketiga kesulitan mengoptimalkan pendapatan karena adanya kemungkinan turunnya pendapatan yang disebabkan oleh tarif maksimal beberapa jenis pajak turun serta hilangnya beberapa jenis retribusi, antara lain pelayanan pengujian kendaraan bermotor, pengendalian menara, serta terminal. Penyebab lain yaitu bertambahnya opsen pajak PKB dan opsen pajak BBNKB pada tahun 2025 nanti tidak menutup berkurangnya pendapatan dari hilangnya dana bagi hasil. 

Masukan Raperda secara umum juga disampaikan oleh Asih dalam beberapa poin yaitu terkait konsideran, mengingat untuk dapat diupdate sesuai dengan ketentuan terbaru, terkait dengan ketentuan umum agar disesuaikan dengan kaidah yang ada dan opsen yang masih baru diatur tentang tarif dan saat terutang.

“Terkait opsen seandainya belum diatur mungkin bisa disesuaikan karena di UU belum dicantumkan tetapi di RPP ini sudah ada, sehingga mohon nanti bisa ditambahkan”. Imbuh Asih. 

Said Ibrahim sebagai narasumber ketiga menjelaskan tentang tinjauan terhadap naskah akademik PDRD DIY, menurutnya dalam hasil review bab 1 latar belakang pada poin identifikasi masalah masih bersifat umum dan belum spesifik pada suatu isu besar pembentukan perda PDRD. Baiknya, identifikasi masalah yang dibuat memuat ringkasan isu besar terkait dengan amanat pasal 94 UU 1 HKPD. 

“Pada Latar belakang naskah akademik masih sangat umum, belum spesifik pada suatu isu tertentu dan belum menyinggung urgensi  mendasar untuk menjadikan sebuah perda”, ungkap Said. (gym)

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*