Jogja, dprd-diy.go.id – Bicara terntang budaya di DIY bukanlah dongeng semata. Hal ini disampaikan R.B. Dwi Budiantoro selaku anggota Komisi B DPRD DIY pada diskusi Bincang Wisata, bertema Warisan Budaya Sebagai Kekayaan DIY dan Pemanfaatannya dalam Sektor Pariwisata”, Senin (29/08/2022).
Diskusi tersebut juga menghadirkan narasumber Plt. Kabid Pemasaran Dinas Pariwisata DIY, Kurniawan dan Direktur Jogja Tourism Training Center, Hairullah Gazali.
Menurut R.B. Dwi, pramuwisata akan menjadi salah satu peran penting dalam perkembangan pariwisata berbasis budaya, baik budaya benda maupun budaya tak benda. Hal ini disampaikan mengingat pramuwisata memiliki peran dalam menceritakan (storytelling) tentang pariwisata berbasis budaya di DIY.
Menurut Kurniawan, storytelling merupakan salah satu cara untuk menambah nilai dari suatu produk. Jika ingin menyajikan suatu produk budaya di pariwisata, produk tersebut harus memiliki story telling terlebih dahulu.
“Kami di dinas sudah mengembangkan narasi-narasi, kemudian nantinya akan dibuat story telling dan kita digitalkan,” ungkapnya.
Kebudayaan dan pariwisata harus selalu terhubung. Oleh karenanya tugas dari dinas pariwisata adalah untuk menyambungkan ke dua hal tersebut. Pariwisata akan memberikan nilai ekonomi pada kebudayaan. Menurut, Hairullah Gazali storytelling merupakan salah satu cara untuk membuat nilai ekonomi itu terwujud.
“Pariwisata dan budaya adalah dua hal yang saling terikat dan saling mengisi. Fungsi pariwisata ini merupakan fungsi pemanfaatan. Ketika pemanfaatannya baik, sesuai dengan yang diharapkan wisatawan maka akan memengaruhi lama tinggal dari wisatawan,” ungkap Hairullah.
Sumbu filosofi saat ini sedang diusulkan ke Unesco. Hairullah berharap carita di balik sumbu filosofi ini bisa memperlama kunjungan parawisatawan. Aspek-aspek yang diceritakan oleh para pemandu wisata bisa membuat wisatawan penasaran.
R.B. Dwi Wahyu Budiantoro menilai wisata yang ada harus terintegrasi di seluruh OPD yang ada di DIY. Ia juga mengungkapkan bahwa DIY memiliki anggaran yang tidak dimiliki daerah lain, yaiu dana keistimewaan. Dana keistimewaan merupakan sebuah konsekuensi dari keistimewaan yang di dalamnya ada kebudayaan.
“Kalau pariwisata ini berbasis dengan budaya, apa salahnya dengan penggaran,” ungkapnya.
Kurniawan mengungkapkan bahwa beberapa waktu terakhir pihaknya telah mengupayakan agar event yang diselenggarakan tidak hanya menggait dari segi budaya, tetapi UMKM juga berusaha ditonjolkan. Menurutnya UMKM juga memiliki warisan budaya tak benda. Sehingga nilai ekonomi juga bertambah.
DIY memiliki karakter yang berbeda dengan destinasi lain yang ada di Indonesia. Hasil riset menunjukkan, orang ang berkunjung ke Jogja bisa sampai 5 hingga 6 kali. Bahkan ada yang datang setiap bulannya.
Hairullah Gazali menilai jika riset terus dilakukan untuk menggali apa yang didatangi wisatawan, Jogja akan terus didatangi orang-orang.
Pengelolaan kebudayaan dan pariwisata di DIY sendiri dianggap R.B. Dwi masih belum optimal. Menurutnya, jika pariwisata ingin dijadikan andalan perekonomian untuk meningkatkan PAD maka pariwisata harus menjadi prioritas. Ketika pariwisata menjadi prioritas, maka dibutuhkan konsep untuk menyusun kebijakan dari segi penganggaran.
“Ketika berbicara kebijakan, maka kaitannya dengan regulasi. Regulasi kita sudah punya, dari segi anggaran kita juga sudah punya. Tinggal kita tentukan berapa persen dana keistimewaan ini diperuntukkan ke pariwisata,” ungkapnya.
Diakhir, R.B. Dwi menyarankan adanya event rutin di Jogja. Misalnya streetfood yang isinya adalah makanan khas jogja yang memiliki nilai history.
Leave a Reply