Jogja, dprd-diy.go.id – Rabu (27/10/2021) DPRD DIY menerima audiensi dari Yayasan Rehabilitasi Yakkum bersama dengan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan Jiwa (AMPUH) di DIY. Audiensi bertujuan untuk menyampaikan aspirasi untuk kesehatan jiwa.
“Saat ini telah ada aliansi AMPUH dan didalamnya terdiri dari anggota-anggota yang memang memiliki perhatian terhadap isu kesehatan jiwa di DIY. Kawan-kawan dari AMPUH kebanyakan adalah penyintas, penyintas adalah sebutan dari kawan-kawan Difabel Psychosocial,” ungkap Rani dari Yayasan Rehabilitasi Yakkum.
Jeri dari Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) menyampaikan bahwa AMPUH lahir dari keprihatinan masyarakat peduli kesehatan jiwa atas kondisi kasus kesehatan jiwa di DIY.
“AMPUH terdiri dari komunitas dan lembaga yang telah bekerja untuk isu kesehatan jiwa, mulai dari pendampingan sampai dengan pemberdayaan penyintas kesehatan jiwa serta advokasi,” ungkapnya.
Desti Indah dari Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP) menjelaskan bahwa ada gangguan Schizoaffective Disorder Depresif Type. Gangguan merupakan campuran antara skizofrenia dan gangguan mood yang termasuk gangguan parah.
“Dengan mengikuti program rehabilitasi berbasis masyarakat dari Yakkum yang membantu melalui program-programnya salah satunya adalah SHG Sugeng Jiwo, terapi aktivitas kelompok dan pendampingan psikologis. Selain itu, diberikan bantuan untuk mendapatkan pekerjaan, menggali potensi,” ia menjelaskan.
Pihaknya memiliki policy brief yang disusun sebagai bagian dari respon terhadap rencana DPRD menyusun Raperda tentang Kesehatan Jiwa. Policy brief ini berjudul ‘Layanan Publik Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat Merupakan Investasi Membangun Ekosistem sehat Jiwa yang Komprehensif di DIY.
Secara umum hal tersebut memiliki beberapa arti, yaitu penyintas atau ODDP merupakan subjek pembangunan, penanganan kesehatan jiwa di DIY hendaknya dilakukan secara komprehensif, serta pentingnya menciptakan masyarakat inklusif agar para penyintas dapat diterima dengan baik.
Terdapat beberapa permasalahan masih adanya ketimpangan masalah pemenuhan hak-hak para ODDP. Pertama, data yang tidak sinkron dari desa hingga ke kabupaten. Kedua, pelayanan kepada penyitas masih banyak berfokus pada media obat-obatan dari BPJS. Padahal membutuhkan layanan yang lainnya seperti pendidikan, lapangan kerja, agama, politik, masalah seni dan budaya.
Ketiga, anggaran yang disediakan untuk layanan yang komprehensif masih sangat terbatas dari pemerintah. Keempat, tim penanganan kesehatan jiwa masyarakat tidak berjalan dengan baik belum optimal dan bahkan banyak yang mati suri. Kelima, upaya preventif dan promotif itu belum mendapatkan porsi sebesar yang kuratif.
Kesehatan jiwa berkaitan erat dengan kemiskinan. Di luar masalah yang lainnya, kemiskinan paling berpengaruh terhadap kesehatan jiwa. Sebagai contoh kasus bunuh diri di Gunungkidul termasuk kasus tertinggi di Indonesia, karena kurangnya perhatian terhadap kasus-kasus kesehatan jiwa oleh Pemerintah.
Pihak Yayasan Rehabilitasi Yakkum merekomendasikan agar ada pembenahan tata kelola data kesehatan jiwa. Pihaknya merekomendasikan agar perda yang akan disusun ini dapat memberikan panduan kepada pemerintahan di setiap level dari provinsi, kabupaten atau kota, kecamatan dan desa atau kelurahan soal kesehatan jiwa.
Koeswanto menanggapi bahwa Komisi D memang menginisiasi Raperda tentang Kesehatan Jiwa, dan juga merupakan kemitraan dalam komisi D yang terkait dengan Dinas Kesehatan termasuk Rumah Sakit Ghrasia. Berkaitan dengan policy brief yang sudah disampaikan, ini jelas fakta yang terjadi di lapangan dan dirasakan para penyintas. (mnq/fda)
Leave a Reply