KSPSI DIY Tuntut Perubahan UMP dan UMK Tahun 2022 di DIY

Jogja, dprd-diy.go.id – Kamis (02/12/2021) DPRD DIY menyelenggarakan audiensi bersama DPD KSPSI DIY yang membahas UU Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat dan mengenai SK Gubernur DIY mengenai Penetapan UMR DIY dan UMK Kota/Kab se DIY pada tahun 2022 mendatang.

Audiensi yang dipimpin oleh Koeswanto, Ketua Komisi D DPRD DIY membahas mengenai tiga pokok pembahasan yakni Putusan MK: UU Cipta Kerja Inkonstitusional, revisi UMP dan UMK DIY 2022, dan kesejahteraan buruh.

Diketahui DIY masuk dalam UMR terendah kedua secara nasional se-Indonesia. Hal tersebut bersinambungan dengan ketimpangan sosial dan kemiskinan di Yogyakarta. KSPSI berharap hal ini dapat diatasi.

“Jangan sampai kesitimewaan yang ada di Yogyakarta ini cacat karena adanya ketimpangan,” jelas Dinta dari KSPSI.

Menurutnya upah di Yogyakarta ini terlalu rendah jika dibandingkan dengan harga bahan-bahan pokok yang tidak jauh beda dengan daerah lain. Berdasarkan hasil survey, terdapat 4 kabupaten dan Kota Yogyakarta yang mengalami defisit yang harus segera diatasi.

“UU Cipta Kerja ini bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 7 a dan Pasal 9. Ketika pemerintah dari pusat hingga daerah menerapkan UU Cipta Kerja yang jelas-jelas inkonstitusional maka melanggar UUD 1945,” tegas Dinta.

Irsad Ade, Sekretaris DPD KSPSI mengatakan pada intinya adalah Peraturan Pemerintah yang mengatur nasib buruh ini semakin buruk. Kami memiliki tuntutan yakni, membuang UU Cipta Kerja dan turunannya, membuang PP Nomor 36 Tahun 2021 sebagai dasar penetapan UMP dan UMK tahun 2022, mencabut SK GUB DIY tentang UMP dan UMK tahun 2022, menetapkan UMK DIY 2022 berdasarkan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL), dan menetapkan upah minimum sektoral.

Irsad juga menyampaikan solusi yang ditawarkan kepada pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan upah buruh ini, yaitu perbaikan upah seperti menambah komponen KHL dan tidak menggunakan UU Cipta Kerja serta turunannya sebagai dasar penetapan upah minimum dan menolak segala jenis formula penetapan upah minimum yang tidak berbasis dengan survey KHL.

“Selain itu juga pemberikan pendapatan diluar upah seperti, kepemilikan sahan, UMKM buruh, subsidi transportasi dan pangan, bansos bagi buruh yang diupah UMK dan tambahan 20% dari UMK, serta koperasi buruh dengan bantuan modal dan asistensi,” ungkapnya.

Miko dari DPD KSPSI menerangkan pula bahwa UU Cipta Kerja ini memang bermasalah yaitu berisfat inkonstitusional. Miko juga menjelaskan bahwa upah minimum daerah di DIY memang harus dinaikan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Menurutnya aturan dalam Permen Nomor 13 Tahun 2012 jauh lebih baik dibandingkan Permen Nomor 18 Tahun 2020. Ia berharap hasil risetnya dapat dijadikan pertimbangan dalam menganalisis kembali kebijakan SK Gubernur UMP Tahun 2022.

“Apa yang akan diberikan oleh Komisi D mengenai kesejahteraan pekerja, upaya – upaya perbaikan apa yang akan dilakukan dalam membuat kebijakan?” tambah Kirmadi Wakil Ketua DPD KSPSI DIY.

Aria Nugrahadi, Kepala Disnakertrans DIY memberikan tanggapan bahwa perlu adanya kolaborasi dengan unsur Dewan Pengupahan, Pengusaha dan Pemerintah dalam hal menetapkan upah minimum ini.

“Pengusaha dapat membuat dan menetapkan struktur yang jelas terhadap skala upah. Secara berkala penguasaha wajib mengesahkan perjanjian struktur dan skala upah. Jika diperlukan, kami akan melakuakan pembinaan preventif terhadap struktur dan skala upah pada pengusaha-pengusaha. Kami akan melindungi pekerja yang menyampaikan pelanggaran yang dilakukan pengusaha. Dan untuk mencapai semua itu diharapkan dapat berkolaborasi dengan pihak- pihak terkait lainnya,” tegas Aria.

Koeswanto selaku Pimpinan Komisi D DPRD DIY menyampaikan segala aspirasi yang telah dipaparkan akan segera disampaikan pada pimpinan dan ditindaklanjuti. (nmr)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*