Jogja, dprd-diy.go.id – Puluhan Mahasiswa yang tergabung dalam Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD DIY pada Senin, (19/9/16). Orasi ini disambut baik oleh pimpinan DPRD DIY H. Yoeke Indra Agung Laksana, S.E.
Salah satu koordinator orasi menyampaikan tuntutan kepada DPRD DIY terkait menolak Uang Kuliah Tunggal (UKT), menolak UU Pendidikan tinggi, Lawan Liberalisasi Ekonomi (MEA), Lawan Represifitas dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat, dan Lawan Kapitalisasi Pendidikan.
Koordinator orasi mengatakan Pendidikan di Indonesia semakin hari semakin mahal. Mereka menilai adanya UKT tidak tepat dan melenceng dari UU (Undang-Undang), UKT hanya menyengsarakan rakyat. Juga mengatakan tidak adanya transparansi dana dan keterlibatan mahasiswa dalam pengambilan keputusan.
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, namun masih ada beberapa dari mereka yang belum mendapatkan hak tersebut. Hingga saat ini, peluang terbesar untuk memperoleh akses pendidikan yang baik hanya anak orang kaya dan pintar. Dengan privatisasi, pendidikan telah mengalami perpindahan kepemilikan yakni dari kepemilikan sosial menjadi kepemilikan privat. Privatisasi dalam kerangka kapitalisasi pendidikan ditunjukan melalui otonomi pendidikan, yakni menyerahkan tugas pelayanan pendidikan dari negara ke tangan swasta dan negara melepas tanggungjawabnya atas pendidikan nasional. Privatisasi berarti pencabutan subsidi pendidikan secara bertahap semenjak 1999. Sebagai lembaga yang berbasis modal, maka lembaga pendidikan yang telah diprivatisasi akan berhitung untung-rugi dalam setiap aktivitasnya, seperti layaknya lembaga bisnis.
Dalam industri jasa pendidikan, komersialisasi menjadi konsekuensinya. Atas dasar hak milik institusi pendidikan (tingkat dasar sampai tingkat tinggi), komodifikasi pendidikan adalah usaha melipat-gandakan keuntungan dan lebih leluasa dalam melakukan penghisapan. Posisi pelajar-mahasiswa telah berubah “customers” (pelanggan jasa pendidikan). Salah satu contoh praktik kebijakan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang sarat dengan diskriminatif dan manipulasi dalam pembagian level-level tingkatan UKT (Uang Kuliah Tunggal), BKT (Biaya Kuliah Tunggal), dan BPOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri) yang tidak transparantif sehingga secara garis besar dalam praktik kapitalisasi pendidikan terdapat beberapa persoalan, yaitu Pertama persoalan akses pendidikan komersil yang akhirnya menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang dijual untuk mendapatkan keuntungan. Pelaksanaan UKT dan penarikan biaya pendidikan merupakan satu kelatahan pemerintah dalam mengadopsi pendidikan gaya barat. Dari sini bisa dilihat bagaimana pemerintah sendiri tidak konsisten dalam menjalankan azas pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Represivitas Sebagai Jawaban Terhadap Gejolak Perlawanan Rakyat
Dalam kebijakan pendidikan, partai-partai borjuasi yang berada diparlemen telah memproduksi pelanggengan sistem kapitalisme untuk melindungi kaum modal lewat berbagai regulasi seperti UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, UU DIKTI No. 12 Tahun 2012, UU Tax Amnesty, UU Ketenagakerjaan no. 13 Tahun 2003 dan berbagai produk kebijakan yang kapitalistik.
Partai dan elit borjuasi selalu mendukung dasar filosofis mengenai lepasnya tanggung jawab negara dalam menjamin dan memfasilitasi pendidikan tidak memperbolehkan campur tangan negara dalam menjalankan usaha (industri layanan jasa) pendidikan. Pelepasan tanggung jawab negara terhadap pendidikan kemudian yang menjadi korban adalah rakyat. Rakyat harus berperan serta dalam pendanaan pendidikan Tinggi. Praktik kapitalisasi pendidikan tinggi ditunjukkan dengan adanya mekanisme link and match yang menguntungkan kelas kapitalis dan mengorbankan pendidikan nasional.
Menanggapi tuntutan tersebut, Yoeke mengatakan, “Kami mendukung tuntutan yang disampaikan oleh SMI. Kami akan berdiskusi dengan pimpinan Komisi D dan akan melakukan korespondensi dengan Kopertis, Kementrian Pendidikan, ketua DPR RI, Gubernur, dan Presiden RI yang nantinya akan menjadi bahan pemikiran dan pengkajian kebijakan-kebijakan terhadap sistem perguruan-perguruan tinggi swasta khususnya yang ada di Yogyakarta”, jelasnya
Rencananya pada tanggal 12 November 2016, SMI akan melakukan orasi lagi di depan Gedung DPRD DIY yang bertepatan dengan Student Day. SMI mengharapkan bahwa besok pada tanggal tersebut, DPRD DIY sudah melakukan keberlanjutan dan memberikan kepastian tentang tuntutan-tuntutan yang telah disampaikan. (pry)
Leave a Reply