
Jogja, dprd-diy.go.id – Pemerintah pusat telah membuat Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI) Ketidaksesuaian dan telah mengidentifikasi permasalahan ketidaksesuaiannya. Hal ini tentu untuk mengetahui masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan.
Ketua Komisi C, Arif Setiadi menjelaskan bahwa ada aturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 yang baru saja ditetapkan sebagai acuan dalam penyelesaian ketidaksesuaian tata ruang, kawasan hutan, izin, dan hak atas tanah. Arif mengatakan bahwa DIY pernah mengajukan banding terkait kebijakan dari pusat.
“Karena kebijakan pusat ada percepatan satu peta dan kemudian PITTI ini jadi acuan pembangunan yang harmonis dan berkelanjutan. Setelah bicara antara provinsi dengan kabuapaten kota ditemukan PITTI, ada PP Nomor 43 Tahun 2021,” ungkapnya pada tayangan ADI TV.
Menurutnya peta indikatif tumpang tindih ini harus ada penyelesaiannya yang juga melibatkan rezim kehutanan, rezim kelautan, dan rezim tata ruang. Hal tersebut tentu harus selaras dengan rencana kabupaten dan kota.
“Ada tindak lanjut dari Pemda DIY yang harus cermat dan tepat. Sesungguhnya peta indikatif tidak sebesar itu,” jelas Arif.
Arif menambahkan bahwa adanya PITTI bermanfaat untuk menghindari konflik antar daerah, ketidaksesuaian pemanfaatan tanah, mencegah konflik agraria, dan kerusakan ekologi. Menurutnya jika hal ini bisa diatasi maka iklim investasi DIY akan membaik. “Jika bisa ditindak (PITTI) dengan baik, Jogja akan baik dari segi investasi. Tidak bingung, soal perizinan juga mudah. Ini akan ada iklim bagus dan bisa memberikan kontribusi bagi percepatan ekonomi,” terang Arif.
Arif berharap PITTI ini dapat ditindaklanjuti sesuai dengan PP Nomor 43 Tahun 2021. Penetapan ini dikatakan Arif memiliki hubungan dengan pembangunan holistik.
“Ini jadi sangat penting karena basis pembangunan holistik sehingga tidak meninggalkan tata ruang, dimana pembangunan aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan,” jelasnya.
Krido Suprayitno, Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispetaru) DIY mengatakan bahwa saat ini untuk menyelesaikannya perlu diketahui pemanfaatan tanah tersebut. Menurutnya perlu diukur terlebih dahulu perencanaan tata ruang di provinsi dan kabupaten atau kota terhadap pola ruangnya.
“Pola ruang tumpang tindih seperti pelayanan administrasi wilayah, administrasi dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) provinsi dengan peruntukannya, atau kawasan perhutanan. (Perlu) dilihat dari RTRW DIY dan RTRW kabupaten dan kota,” ungkap Krido.
Krido mengungkapkan pihaknya kemudian menegosiasikan agar integrasi dapat diturunkan, sehingga pada akhirnya dapat turun dari 63% menjadi 50,7%. Berkaitan dengan hal tersebut, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengintegrasikan dengan aturan dalam Perda DIY Nomor 5 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DIY Tahun 2019-2039.
“Kita diberi waktu selama 1 tahun untuk membuat rencana asli tindak lanjut. Kita tindaklanjuti ini ada izin yang tidak sesuai pemanfaatan tanah atau tanah yang dimanfaatkan tidak sesuai perizinannya, ada yang sesuai tapi tidak berizin bersama dengan PITTI. Politik dan ekonomi harus berjalan sinergis,” jelasnya.
Saat ini upaya yang perlu diselesaikan dan sudah berjalan menurut Krido adalah penyelesaian percepatan yang tersistim dan terstruktur. Penyelesaian tersebut meliputi penyesuaian RTRW di provinsi dan kabupaten kota serta upaya taktis di tahun 2022.
Krido mengatakan jika soal anggaran juga perlu dituntaskan. Pihaknya juga berupaya menyelesaikan Penataan Ruang Laut (RZWP3K). Selain itu, Dispetaru juga menyiapkan Kerangka Acuan Kegiatan (KAK) yang tidak hanya untuk melakukan review, namun juga untuk menindaklanjuti.
“Tetap harus dipatuhi antara intergasi RTRW kabupaten kota dan provinsi, sudah ada bekal tinggal penyelesaian di Kab Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul yang kami dorong per sub. Kami coba berpikir dan selesaikan secara holistik sehingga manajemen lintas sektor bidang OPD sangat penting,” jelas Krido. (fda)
Leave a Reply