PPMAY Mengeluhkan Kondisi Malioboro yang Masih Semrawut

Jogja, dprd-diy.go.id – Jumat (26/10/2018) DPRD DIY menerima audiensi dari Perkumpulan Pengusaha Malioboro Ahmad Yani (PPMAY). Audiensi diterima langsung oleh Rany Widayati selaku Wakil Ketua DPRD DIY di Ruang Transit Lantai Dua. Perkumpulan Pengusaha Malioboro Ahmad Yani dihadiri oleh Sadana selaku ketua umum, Sodikin selaku ketua satu, Lukas selaku ketua dua, dan anggota PPMAY lainnya yakni keseluruhan yang hadir berjumlah 16 orang.

Sadana selaku Ketua Umum PPMAY mengawali penyampaian pembahasan dalam audiensi tersebut. Ia memaparkan bahwa aturan di Malioboro ini masih semrawut. “Apakah bisa membantu untuk penertiban, kita menghadap DPRD DIY ini meminta satu keterangan, sampai saat ini kami belum tahu mau dibawa kemana Malioboro ini? Katanya bulan November kendaraan sudah tidak boleh masuk, nah ini menjadi kendala bagi kami pengusaha, nanti orang tidak bisa belanja di Malioboro. Pemerintah kurang sigap mengatur pemarkiran yang mumpuni. Harapan kami tetap kendaraan roda 2 dan 4 bisa masuk di Malioboro, hanya tidak parkir tidak apa, tetapi pemerintah sediakan parkir yang memadai,” katanya dalam audiensi pagi hari itu.

Ia juga mengatakan bahwa saat ini pemerintah tingkat dua belum memeberi gambaran secara pasti, bahkan ia sudah menanyakan di Dinas PU dan UPT Malioboro bahwa aturan pembangunan itu bagaimana, artinya saat ini adalah mengenai akses masuk itupun terjadi perdebatan. Adapun audiensi tersebut membahas mengenai jumlah PKL yang tidak proporsional. Menurutnya Malioboro bukan ramai oleh pengunjung, melainkan ramai oleh PKL yang terdapat di Malioboro dengan jumlah 1200 PKL. “Kami sebagai pengusaha di Malioboro bukan tidak menghendaki PKL hanya saja mereka dibuat tertib, seakan-akan itu toko milik mereka. Tetapi apabila PKL dihilangkan juga kurang bagus, jadi dikurangilah proporsinya,” tegas Sadana.

Sodikin selaku ketua satu menambahkan dalam penataan Malioboro sangat complicated, Jumlah toko sekitar 200-an Toko sedangkan PKL 1200 jumlahnya. Ia berharap kedatangan PPMAY bisa diartikulasikan, artinya aspirasi bisa diserap dan nantinya bisa disampaikan pada pihak yang terkait yang membuat keputusan. Dalam pemaparannya ia mengatakan bahwa Malioboro sudah tidak seperti dulu. “Tokonya dikrowok, tanah yang dipinjam pemerintah tujuannya untuk pejalan kaki tetapi faktanya sudah berubah fungsi, masalahnya adalah tanah tersebut dipakai PKL jika dianalogikan apabila toko adalah rumah, maka tanah yang dipakai PKL adalah teras kami. Kalau fungsinya seperti yang dulu kami enjoy dan happy.”

Menurut Sodikin, PKL tersebut sudah tidak layak disebut PKL harusnya sudah menyandang status pengusaha, dikarenakan ada diantara mereka mempunyai 4 sampai 5 outlet bahkan 20 outlet. Apabila ini dibiarkan maka ada kemungkinan potensi konfik karena tanah tersebut merupakan milik pemilik toko dan mereka membayar PBB dan tanah itu sudah banyak jatuh tidak lagi pada pihak pertama, atau bahkan jatuh pada orang lain. Adapun yang menjadi prihatin adalah lahan itu diperjual belikan dan disewakan kepada orang lain. Itulah permasalah di lapangan akan menjadi suatu permasalahan besar apabila tidak segera diberi solusi. Sodikin menyampaikan permohonan yaitu PKL ditata, karena dilihat dari jumlah sudah tidak proporsional bahkan 1:6. Kemudian meminta tolong teman-teman PKL diuwongke, jadikanlah pengusaha formal. Caranya ialah pemerintah wajib memfasilitasi dan mensejahterakan yaitu dengan menyediakan tempat untuk berjualan yang masih disekitar Malioboro baik sisi hukum positif dan norma agama, agar harkat, derajat, martabatnya terangkat.

Kemudian Yulianto selaku pemilik toko Sepatu Villa sekaligus warga yang tinggal di Malioboro mengatakan bahwa tidak pernah diajak bicara terkait proyek, namun tiba-tiba dikumpulkan ketika proyek hendak dimulai. Ia menyebutkan bahwa Malioboro kekurangan hidran mengingat bahwa pentingnya fungsi hidran tersebut. Selain itu Malioboro tidak ramah untuk kaum difabel, karena dari 17 zebra cross yang dihitung dari pasar kembang sampai Mirota Batik hanya ada 3 atau 4 jalur ramah diffabel, khususnya bagi pengguna kursi roda. Adapula terjadi penutupan bak kontrol di Malioboro. Ia juga mengatakan bahwa terdapat meteran listrik yang muncul secara tiba-tiba tanpa sepengetahuan pemilik toko dan apabila terjadi apa-apa pemilik tokolah yang kena resikonya.

Lukas selaku ketua dua menambahkan terjadi pelanggaran seperti jalan akses masuk toko yang susah karena padatnya PKL, lebar dan ketinggian dagangan PKL, jam buka, dan juga lapak yang diperjual belikan. Ia mengatakan bahwa hal terpenting ialah pemerintah harus mengakui bahwa tanah itu ialah tanah milik pemilik toko.

Sulham dari Batik Asia juga menambahkan bahwa ia belum diajak bicara masalah pedestrian, kemudian terjadi diskriminasi pemindahan PKL, ia juga menginginkan pengakuan bahwa itu tanah milik pemilik toko. Selain itu ia juga mengeluhkan susahnya membuang sampah baik sampah rumah tangga maupun sampah toko atau sampah plastik. Ia pun mengatakan bahwa Jogoboro yang kurang ramah dengan pemilik toko hal itu diperjelas ketika karyawannya dimarahi Jogoboro ketika hendak membuang sampah, dan Pol PP yang kurang tegas dan bijak pada para PKL.

Mendengar pembahasan tersebut, Rany Widayati menanggapi bahwa Malioboro adalah sudah seperti icon Jogja. Pemerintah berharap Malioboro menjadi tempat yang nyaman bagi pengguna, yakni dapat  menikmati Malioboro yang tidak terlalu banyak polusi, pejalan kaki bisa nyaman, namun diantara harapan tersebut terdapat konsep yang belum tepat. Seharusnya dalam menanggapi ini semua pihak diajak bicara bersama-sama supaya tidak ada yang dirugikan.

“Kami akan meneruskan apa yang menjadi aspirasi dari PPMAY dengan mengadakan FGD. Karena DPRD DIY merupakan lembaga yang memfasilitasi antara aspirasi masyarakat dengan pemerintah maka sudah menjadi tugas kami. Kami akan undang semua dan juga melibatkan pihak yang terkait yakni PPMAY, Dinas PU, Bappeda, Pemerintah Kota untuk membicarakan masalah ini,” tutur Rany.

Dalam audiensi tersebut tercatat beberapa poin antara lain:

  1. Penataan PKL yang tidak proporsional 1:6 (relokasi)
  2. Pengakuan PKL untuk tidak menjadi PKL lagi
  3. PKL harus mengontrak kepada pemilik toko
  4. Fungsi hidran di Malioboro
  5. Malioboro tidak ramah difabel
  6. Bak kontrol tidak disiapkan secara baik
  7. Penetapan hukum Perwal
  8. Tidak ada pembuangan sampah
  9. Jogoboro kurang ramah
  10. Satpol PP kurang tegas

Selain itu ada pula masalah yang sifatnya mendesak yakni kebijakan pemerintah mulai Bulan November 2018 kendaraan sudah tidak boleh lewat, PPMAY berharap untuk segera dibahas. Chang Wendryanto anggota dari Fraksi PDI-P menambahkan bahwa ia tidak pernah menandatangani apapun yang berkaitan dengan PKL, salah satunya tentang jual beli. “ Saya sudah menata Malioboro sejak dulu sampai titik nol, saya sudah tahu Malioboro sejak dulu. Pemerintah kurang tegas! Mengenai rencana Malioboro dari awal saya bilang bubarkan UPT karena membuat kacau,” tegasnya. (est)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*