Jogja, dprd-diy.go.id – Pansus BA 6 Tahun 2022 mengadakan public hearing pada Rabu (13/04/2022) dipimpin oleh Yuni Satia Rahayu, Ketua Pansus. Pansus yang membahas Raperda tentang Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin dan Kelompok Rentan ini turut menghadirkan pakar dalam pertemuan ini.
Hari Supriyanto dari Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta menjelaskan bahwa memang pada dasarnya bantuan hukum hanya bisa dilaksanakan oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH). Bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan kelompok rentan ini diberikan secara cuma-cuma.
“Bantuan hukum dibagi menjadi ada yang individual dan struktural. Yang struktural ini adalah persoalan yang diakibatkan oleh ketidakadilan seperti soal gender, ras, budaya,” ungkapnya.
Hari memberikan catatan kepada raperda ini seperti pelibatan stakeholder yang berasal dari lembaga non pemerintah, perda segera dibahas sesuai mekanisme, penganggaran pada Biro Hukum, pencegahan double payment, tidak ada penyimpangan dalam monitoring evaluasi, serta pemisahan anggaran penyelenggaraan hukum dan anggaran penyelenggaraan bantuan hukum.
“Persoalan kemiskinan akan erat kaitannya dengan masalah yang ditimbulkan. Siapa saja yang termasuk orang rentan itu kita pakai standar ukuran yang ada di Dinsos,” jelasnya.
Pada kesempatan ini pula pihak-pihak terkait turut menyampaikan saran, pendapat, dan masukan atas raperda ini. Yohan dari salah satu OBH Sleman mengatakan bahwa syarat OBH yang terakreditasi agar bisa memberikan bantuan hukum perlu ditinjau kembali. Ia berharap agar anggaran yang ada ini bisa terserap juga oleh OBH yang belum terakreditasi.
“Terkait syarat akreditasi ini harus direvisi lagi. Di Jogja saja hanya ada 22 OBH dan ini belum cukup untuk memenuhi masalah dan juga cakupannya itu hanya di kota,” jelasnya.
Menyikapi soal pengecualian dalam pemberian bantuan hukum pada raperda ini, Rudi Suhari menyarankan agar pengecualian kasus dalam raperda ditambah dengan kasus terorisme. Sementara ia mengusulkan agar upaya mitigasi yang dilakukan oleh OBH dapat diperhatikan, karena hal ini merupakan tindakan preventif sebelum ada kejadian yang menyangkut hukum.
Terkait dengan bantuan hukum kepada difabel, Syamsudin dari SIGAB menuturkan raperda ini belum mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Menurutnya raperda ini belum aksesibel bagi para penyandang difabel sebagai korban. Selain itu, pendamping difabel juga belum dimuat dalam raperda ini.
“Bagaimana perda ini bisa diakses difabel dalam pelayanan hukum. Syarat minimal seharusnya ada dalam raperda. Masukan, tambahan untuk draf ini bagaimana mekanismenya dalam melakukan pelayanan,” ungkap Billy dari OHANA.
Kemenkumham menanggapi bahwa raperda ini mengakomodir perluasan kelompok rentan agar bisa mencakup kelompok rentan lebih banyak. Menurut Kemenkumham perlu perluasan anggaran dari pemerintah dan perluasan pemberi bantuan hukum seperti OBH yang belum terakreditasi untuk menyeimbangkan perluasan penerima bantuan hukum.
Bambang Sutiyoso dari Fakultas Hukum UII yang pada kesempatan ini menjadi pakar mengungkapkan bahwa Biro Hukum dan penyelenggara bantuan hukum dapat melakukan akreditasi sendiri jika mampu. Menurutnya hal ini dapat dilakukan dengan tetap memerhatikan standar mutu yang baik.
“Penyelenggara bantuan hukum dapat menyelenggarakan sendiri (akreditasi), dapat diperluas soal akreditasi khusus berakiatan dalam raperda ini dengan catatan dengan standar mutu yang baik,” jelasnya.
Ia menambahkan dalam pelibatan stakeholder, OBH dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi. Terkait dengan syarat pelayanan bantuan hukum kepada difabel perlu dirumuskan dengan teliti.
“Saya pikir bisa dirumuskan, yang penting ada political will-nya. Rambu-rambu moral penting, tapi rambu-rambu moral tidak harus eksplisit dicantum di perda,” ungkap Bambang.
Julian Duwi Prasetia, Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta mengatakan bahwa masing – masing OBH memiliki otonominya sendiri dimana terdapat bidang kasus yang diampu. Ia juga berharap persoalan difabel ini dapat ditangani secara khusus.
“Peran pemda diharapkan bisa maksimal. Peran OPD dalam kualitas layanan ini bisa cukup diperhatikan dalam kasusnya nanti,” lanjutnya. (fda)
Leave a Reply